TRADISI "MELASTI MANAK SALAH" DI ERA KEMERDEKAAN
Salah satu aspek kebudayaan tradisional Bali yang menarik adalah kepercayaan tentang anak “kembar buncing” atau “orang manak salah”. kalau kembar buncing (lelaki-perempuan) terjadi pada keluarga biasa, itu dianggap bencana dan berakibat dikucilkan. Jika itu terjadi pada keluarga 'kasta-atas', maka itu dianggap anugerah. Air bekas memandikan bayi kembar buncing dari ‘kasta-atas’ itu diyakini dapat menyuburkan sawah-ladang.
Dahulu pada zaman Kerajaan atau zaman Bali Klasik ada Raja di bali yang bernama Raja Marsula Marsuli mempunyai anak kembar buncing, pada saat itu ada juga masyarakat di bali juga melahirkan anak kembar buncing. Apabila dalam sebuah desa ada pasangan suami istri memiliki atau melahirkan anak kembar buncing ‘manak salah’, Menurut Raja, masyarakat tersebut disalahkan karena menyamai Raja sehingga desa tersebut atau tempat bayi dilahirkan dianggap kotor / cuntaka.
Semua kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang melahirkan anak kembar buncing.
Setelah zaman kemerdekaan, hal itu dihapus karena tidak sesuai dengan Pancasila terutama sila kedua. Namun saat ini, masih ada beberapa desa yang masih melakukan ritual tersebut dengan hanya melakukan ritualnya saja tetapi pihak keluarga tidak diasingkan lagi sebab pemerintah Bali dan Parisdha hindu pada saat itu telah mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran masa lampau.
Upacara atau ritual langka yang diliput pada tanggal 3 Maret 2010 di Desa Pedawa, Buleleng, Bali yang merupakan salah satu desa di Bali yang masih melakukan Tradisi Melasti Manak Salah, desa tersebut merupakan salah satu desa baliaga yang ada di Bali khususnya di Kabupaten Buleleng. Tradisi Melasti Manak Salah di Desa Pedawa dilakukan di Sungai dikarenakan sungai adalah sumber air terdekat dari desa tersebut.
Upacara diawali di Pura Desa dengan melakukan persiapan upacara sebelum menuju ke mata air, dan masyarakat memutari setana yang ada dipura sebanyak 3 kali. Sebelum menuju ke lokasi utama Ritual, para remaja di Pura Desa melakukan Tarian Taruna yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Memutari setana yang ada di Pura Desa sebanyak 3 kali ialah sebagai awal perjalanan menuju ke tempat melasti sebagai wujud penghormatan 3 dewa utama di agama hindu yaitu trimurti meliputi brahma wisnu siwa.
Upacara Melasti Manak Salah yang dilakukan di pinggir sungai. Saat menuju sungai masyarakat juga membawa Tempat perlingga “pertima” adalah simbol wujud singgasana Bhatara yang berstana di Pura Desa. Dalam rangakaian Upacara “Melasti Manak Salah” Bayi kembar buncing dibawa menuju ke dalam sungai untuk melakukan tahap pembersihan diri secara simbolis. Bayi dibersihkan dengan air sungai sebagai wujud perbersihan dari segala malapetaka atau penyucian diri sambil menyiapkan sesajen atau “Banten Peras”. Dilakukan di sungai karena air disungai ialah air mengalir yang bersih dan sungai adalah satu satunya mata air terdekat di Desa tersebut.
Artikel dan Foto Oleh Ari Ary Saputra