0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Candi Budha Kalibukbuk

Admin disbud | 29 Mei 2017 | 6411 kali

CANDI BUDHA KALIBUKBUK

Objek ini secara administratif berada di wilayah Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng dengan ketinggian 2 meter di atas permukaan laut. Orbitasi objek ini berjarak 8 Km dari kota Singaraja ke arah barat melalui jalur utama Singaraja – Seririt sehingga mudah dicapai dengan kendaraan bermotor. Selain terletak di jalur utama situs ini terletak di kawasan wisata Lovina sebagai objek wisata pantai yang sudah punya nama di kalangan wisatawan domistik maupun mancanegara. Untuk bisa sampai ke objek ini kita belok ke kiri dari kawasan Lovina sekitar 1 Km melalui jalan aspal menuju Desa Kayu Putih Melaka. Luas situs ini sekitar 4 Ha milik Anak Agung Sentanu berupa kebun kelapa.

Berdasarkan data arkeologis Agama Buddha sudah berkembang di abad VIII Masehi pada zaman Bali Kuno, termasuk di Bali Utara (Buleleng). Apalagi Bali Utara merupakan pintu masuk pengaruh budaya dari luar baik Buddha maupun Hindu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan beberapa artefak Buddhis berupa stupika, materai tanah liat, arca perunggu, alat-alat upacara, dan kompleks percandian di situs Kalibukbuk. Penemuan situs kompleks percandian Buddhis di Kalibukbuk sebagai tempat untuk pemujaan Buddha, menunjukkan bahwa Agama Buddha sudah berkembang di Bali Utara sejak abad VIII – XIV Masehi.  Pada situs ini terdapat tiga buah candi, yaitu candi induk berdenah oktagonal dan dua candi perwara yang denahnya berbentuk bujursangkar, yang fungsinya sebagai tempat sembahyang umat buddhis di Bali Utara pada masa lampau.

Penemuan situs ini diawali dengan ditemukan stupika dan materai dari tanah liat di belakang sebuah hotel yaitu Hotel Angsoka ketika dilakukan penggalian sebuah kolam renang pada tahun 1991 oleh penduduk setempat.   Pada tahun 1994, ditemukan lagi benda yang serupa di tegalan milik Anak Agung Sentanu ketika dilakukan penggalian sumur oleh penduduk setempat. Temuan – temuan tersebut membuat Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian di situs Kalibukbuk dari tahun 1994 sampai tahun 2002. Setelah studi ini dilakukan dilanjutkan dengan studi teknis arkeologi yang dilakukan

oleh BP3 Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT pada tahun 2002. Kegiatan penggalian (ekskavasi) pada situs ini ditemukan beberapa artefak berupa batubata berhias motif sulur-suluran, relief gajah dan ghana, yang merupakan bagian dari candi, juga ditemukan 100 buah stupika di dalam sumuran candi perwara sebelah barat, dan di bagian bawah dari temuan stupika ini terdapat susunan batu andesit. Sedangkan stupika yang ditemukan di bawah candi perwara sebelah timur keadaannya sudah teraduk.  Berdasarkan temuan-temuan itu Balai Arkeologi Denpasar berkesimpulan bahwa situs Kalibukbuk ini berasal dari abad VIII – XIV Masehi. Kompleks Candi Kalibukbuk menghadap ke arah tenggara. Hal ini dapat diketahui karena pada induk candi terdapat tangga yang berada di sisi tenggara. Bangunan stupa tersebut pada saat ditemukan sebagaian besar sudah rusak dan yang tersisa hanya bagian dasarnya saja. Peninggalan lain yang ditemukan adalah berupa batu bata yang dihias dengan motif sulur-suluran dan relief Ghana dengan posisi jongkok, kedua tangan diangkat ke atas di samping kepala seperti posisi menahan beban di atasnya. Dari sisa-sisa unsur dekoratif tersebut menghasilkan rekontruksi bentuk candi utama berupa stupa dihias dengan relief Ghana berada di antara lantai hiansan relief dan bagian atas kaki candi.

Ganesha pada stupa menjadi petunjuk adanya sinkritisme Siwa-Budha di situs ini. Stupa sebagai bangunan bugis yang menggunakan atribut Siwaistis, hanya dapat dimungkinkan jika pendukung bangunnan suci tersebut mengembangkan sikap toleransi antardua keyakinan yang berbeda. Penciptaan stupa Kalibukbuk sebagai perpaduan harmonis unsur Budha dan Siwa (Hindu) mencerminkan sikap toleransi yang tinggi di antara pemuluknya dan bahkan kedua  ajaran itu melebur menjadi aliran Siwa-Budha. Sekarang ini Stupa Kalibukbuk difungsikan oleh masyarakat sebagai media pemujaan baik bagi umat Buddha maupun umat Hindu, seperti pada Hari Raya Saraswati banyak umat Hindu datang mengadakan persembahyangan pada situs ini. Berdasarkan temuan dan studi teknis dari BP3 Bali sejak tahun 2002, maka pada tahun 2004 mulai dilakukan pemugaran dalam rangka pelestariannya dan baru kelar pada tahun 2008.