Sejak dulu kita telah mengenal istilah Aksara. Aksara adalah mahkota budaya (aksara makuta mandita), maka dari itulah aksara menjadi media paling tepat untuk mendokumentasikan kebudayaan. Fungsi dokumentasi menjadi hakikat utama aksara Bali, yang menjadikannya mampu mentransformasikan aksara (huruf/suku kata) menuju ke aksara (tidak termusnahkan/kekal). Hal inilah yang menyebabkan aksara Bali menempati kedudukan dan fungsi yang istimewa dalam masyarakat Bali. Kedudukan dan fungsi tersebut selalu mengalami dinamika, seirama dengan perubahan nilai-nilai dan perkembangan kebudayaan yang dianut masyarakatnya. Salah satu dinamika yang berkembang dalam aksara bali adalah munculnya kaligrafi aksara Bali.
Kaligrafi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang secara etimologi berasal dari dua kata yaitu kallos ’indah’, dan graphein ‘tulisan’, jadi kaligrafi berarti sebuah bentuk tulisan yang dibuat seindah mungkin. Kaligrafi selama ini sangat identik dengan nuansa Islami, karena memang seni kaligrafi lebih banyak berkembang di ranah Islami dan dekat dengan budaya Arab. Sementara di Bali, istilah tersendiri yang digunakan untuk menyebutkan kaligrafi aksara Bali belum ada. Memang dalam beberapa pertemuan-pertemuan sempat tercetus ide untuk memberikan nama, namun akhirnya tidak pernah muncul kesepakatan untuk hal itu. Pada tangggal 1 Juli 2013 bertempat di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa berkumpul panitia dan panitia pengarah International Balinese Festival. International Balinese Festival merupakan sebuah festival bahasa Bali tingkat internasional yang diprakarsai oleh Nyoman Gunarsa. Pada pertemuan itu hadir beberapa tokoh diantaranya Nyoman Gunarsa (pelukis, penggagas festival), I Nengah Medera (ahli Sastra Jawa Kuna) I Nyoman Darma Putra (budayawan), I Made Sujana (IHDN Denpasar), Gde Nala Antara ( Ketua Badan Pembina Bahasa Bali, juga dosen sastra UNUD), A. A. Temaja (seniman drama gong dan dalang), Wayan Madra Aryasa (seniman dan budayawan), Ida Rsi Agung Wayadya Suprabhu Sogata Karang (budayawan), dan I Gede Gita Purnama (Aliansi Peduli Bahasa Bali). Dalam perbincangan pagi itu mencoba merumuskan sebuah nama untuk kaligrafi aksara Bali. Muncul kemudian masukan nama-nama diantaranya Ngreka aksara, Aksara Reka, Aksara Yantra, Modre, Rerajahan, dan Baligrafi. Usulan nama trakhir datang dari Nyoman Darma Putra, dan kemudian disepakati oleh forum kecil itu untuk menggunakan nama “Baligrafi” (merangkai aksara dalam bentuk visual art, yang sudah barang tentu indah) untuk identitas kaligrafi aksara Bali.
Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan kenapa nama Baligrafi dipilih adalah kata Baligrafi dianggap mampu mengakomodir pengertian tentang memvisual-artkan aksara Bali. Baligrafi dirasa dekat dengan nama kaligrafi, namun menghadirkan nuansa yang berbeda, jika kaligrafi pandangan umum akan mengasosiasikan dengan unsur Islami, sementara Baligrafi diharapkan mampu menghadirkan asosiasi yang bernuansa Bali. Bali merupakan sebuah nama yang telah dikenal banyak orang bukan hanya di Indonesia bahkan di Mancanegara, sehinggga diharapkan dengan menggunakan istilah Baligrafi akan lebih mudah untuk dikenal oleh masyarakat luas.
Sumber : https://penabicara85.wordpress.com/2013/07/10/baligrafi-berkreasi-dari-aksara-ke-seni-visualaksara-merupakan/