Herman Neubronner Van Der Tuuk adalah peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuno), dan Bali. Beliau lahir di Malaka, 24 Oktober 1824 dan meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1894 pada umur 69 tahun. H.N. Van der Tuuk sejak tahun 1870 ia menetap di Singaraja (Buleleng) Bali Utara, di sebuah rumah bambu sangat sederhana. Di kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang ”aneh”, tetapi sekaligus ”dicintai”. Van der Tuuk menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda,sekitar 40 tahun waktunya ia habiskan untuk mempelajari bahasa Bali dan Jawa Kuno. Ia bersabahat baik dengan para seniman tradisional dan para sastrawan kidung, tembang dan kakawin di Bali.
Pada tahun 1928 didirikan sebuah yayasan (Kirtya) di bawah pemerintah setempat di Bali, dengan terang dijelaskan apa yang menjadi tujuan yayasan itu yakni Melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi (diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan naskah-naskah mana saja yang dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya kecil kemungkinan bahwa naskah penting lolos dari perhatian kita dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil. Perpustakaan Lontar Kirtya, atau lebih dikenal dengan nama Gedong Kirtya, yang kini berfungsi sebagai perpustakaan naskah atau lontar-lontar Bali, bercikal bakal dari koleksi buku-buku dan lontar-lontar yang diwariskan Van der Tuuk.