(0362) 330668
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Perkawinan Menurut Bali

Admin disbud | 05 Oktober 2020 | 1007 kali

Menurut Agama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan kuturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka). . Bagaimanakah syarat-syarat perkawinan menurut Adat Bali? 1. Syarat umur : wanita dan pria harus sudah dewasa. Dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal "menek bajang", setelah wanita datang bulan pertama dan setelah laki-laki berubah suara (ngembakin). 2. Syarat kesehatan : kemampuan melakukan senggama dapat dipandang sebagai syarat penting. Orang-orang yang mengalami gangguan fisik/psikis sebagai berikut dilarang kawin : - pria impoten. - gila. - wanita kuming (vagina sempit). - pria basur, buah pelir besar. 3. Hubungan kekeluargaan : - Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan wanita yang berkedudukan selaku nenek atau bibi setingkat sepupu atau sepupu dua kali. - Dihindari pula perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-laki bersaudara kandung), yang sering disebut "mepaid engad". Perkawinan "apit-apitan" (tetangga sederet jarak satu tetangga). - Dilarang secara tegas perkawinan Gamya Gumana : menurut perkawinan Residen Bali dan Lombok 1927, perkawinan Gamya Gumana meliputi : perkawinan antara orang-orang yang berkeluarga dalam garis keturunan kencang keatas dan kebawah, perkawinan antara mertua dan menantu, perkawinan antara bapak/ibu tiri dengan anak tiri. 4. Syarat yang cukup penting adalah, adanya kebebasan kehendak dari mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak, artinya bahwa akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan diri berkehendak untuk kawin. Ketidaksetujuan orang tua dalam hal ini dapat digugurkan. Bagaimana tentang sah atau tidaknya perkawinan? Pengadilan Raad Kerta pada jaman Belanda, lazim menjatuhkan putusan bahwa #perkawinan itu sah setelah upacara mebyakala.

Bali merujuk kepada putusan pengadilan ”Raad Kerta” dan pengadilan negeri sebagai yurisprudensi. Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Panetja (Ibid), didapatkan kesimpulan bahwa campur hidup antara laki dan perempuan disebut perkawinan sah adalah sesudah kedua mempelai melakukan upacara mebyakawon (mebyakala). Pendirian demikian tersirat dalam :
1. Putusan Raad Kerta Singaraja tanggal 11 April 1932 No. 49/Civiel mengenai perkawinan di desa Jinengdalem, Distrik Buleleng.

2. Putusan Raad Kerta Singaraja tanggal 14 Oktober 1932 No. 290/Crimineel.

3. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja 1959/Crimineel

Sumber: - Jurnal Ilmu Hukum MIMBAR KEADILAN, Foto: Collectie P.F. Valois 

              - www.sejarahbali.com  

Foto : Prosesi Perkawinan di Buleleng pada tahun 1939.