Tradisi Ngamuk-amukan
Admin disbud | 02 Maret 2021 | 1113 kali
Tradisi unik diadakan di Desa Padang Bulia, Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng, yaitu Tradisi Ngamuk-amukan yang lebih diketahui dengan perang api. Tradisi yang dilaksanakan pada waktu pengrupukan Tilem Kesanga atau satu hari sebelum Catur Brata Penyepian, dilaksanakan dengan turun temurun, dengan menggunkan danyuh (daun kelapa kering) yang dibakar, setelah itu api itu diadu oleh dua orang dengan berbarengan. Pengrupukan yang dilaksanakan bermaksud buat menyomia Buta Waktu supaya tidak mengganggu manusia pada waktu menjalankan Catur Brata Penyepian yang dilaksanakan sore hari selesai dilaksanakan upacara mecaru pada tingkat rumah satu hari sebelum upacara Nyepi dilaksanakan sesuai dengan rutinitas ditempat.
Biasanya Pengrupukan dilaksanakan melalui langkah menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah serta semua pekarangan dengan membakar danyuh, dan memukul beberapa benda apakah saja (umumnya kentongan) sampai membuahkan nada ramai serta berkesan berisik. Tingkatan ini dilaksanakan buat menyomia Buta Waktu dari lingkungan rumah, pekarangan, serta sekitar lingkungan. Desa Padang Bulia miliki Tradisi Ngamuk-amukan atau kerap disebut dengan perang api. Media yang digunakan ialah danyuh yang sudah selesai digunakan kala mecaru atau mebuu-buu di masing-masing rumah penduduk, setelah itu dibawa keluar di muka pintu gerbang masuk rumah. Danyuh itu yang difungsikan Ngamuk-amukan atau perang api oleh warga Desa Padang Bulia.
Arti filosofis dari Tradisi Ngamuk-amukan inilah temukan dari pembicaraan leluhurnya sebelumnya. Arti Ngamuk-amukan itu menurut yang dia temukan dari banyak leluhurnya ialah ngamuk bohongan serta sekedar sandiwara. Senjata danyuh yang tersulut api miliki nilai filosofis yaitu amarah yang ada dari dalam diri manusia seharusnya seperti danyuh yang dibakar apinya jadi membesar, kemudian mati dengan demikian cepatnya. “Mengapa senjata Ngamuk-amukan harus pakai danyuh karena banyak leluhur kami dahulu memaknai supaya pembawaan amarah manusia semestinya seperti danyuh yang dibakar. Apinya jadi membesar, lalu mati dalam waktu relatif cepat. Itu bermakna supaya manusia tidak menaruh amarah dendam yang lama, seperti danyuh yang dibakar itu”. Yang melaksanakan Ngamuk-amukan atau perang api itu ialah semua penduduk Desa Padang Bulia, tapi amat sering dilaksanakan oleh anak muda, terutama lelaki. Tempatnya lantas diseleksi di jalan raya, di muka pintu gerbang penduduk. Waktu yang pas ialah sandykala. Selesai melaksanakan pecaruan dalam rumah masing-masing. Tidak ada banten istimewa yang digunakan kala tradisi ini berjalan, akan tetapi sudah dirangkaiakan dengan banten pecaruan atau mebuu-buu. Tapi jalannya tradisi perang api ini lantas berjalan dengan spontan.
Sebelum Ngamuk-amukan mulai, diyakinkan terlebih dulu kalau yang melaksanakan perang api dengan memanfaatkan danyuh ini ialah tidak ada sentimen pribadi. Maksudnya adalah untuk meminimalkan berlangsungnya bentrokan dengan cara langsung. Penduduk yang akan berlaga itu sudah meyakinkan musuh kedua-duanya, hingga sewaktu ada aba-aba mulai sudah mengetahui tandingannya masing-masing. “Melibatkan dua orang dalam pertempuran dengan mengadu api dari danyuh yang dibakar itu. Tidak ada makna menang ataupun kalah dalam tradisi yang seperti perang api ini. Semua yang turut serta dalam kondisi suka ria, rasa persatuan dalam menyambut hari raya Nyepi. Menariknya sampai kini tidak pernah banyak remaja yang melaksanakan Ngamuk-amukan ini terluka gara-gara terserang api”.
Tradisi Ngamuk-amukan diadakan mendekati Nyepi ialah lambang supaya umat manusia pada waktu melaksanakan Catur Brata Penyepian seperti amati geni, amati karya, amati lelanguan serta amati lelungaan dapat berjalan dengan baik, tak mesti menaruh rasa dendam serta pembawaan marahnya sewaktu menyambut tahun baru saka. “Apalagi Nyepi itu kan sunyi, kosong, hening serta sebagai waktu yang pas buat bersemedi melaksanakan introspeksi diri serta pengontrolan diri. Jadi tidak bisa sekalipun menaruh amarah ataupun rasa dendam. Tradisi Ngamuk-amukan itu yang dilaksanakan menjadi teknik untuk memusnahkan semua bentuk amarah,”.