0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Makna Hari Raya Siwalatri

Admin disbud | 03 Januari 2024 | 8515 kali

Agama Hindu di Bali memiliki berbagai macam perayaan hari raya yang dianut. Selain hari raya Galungan dan juga Nyepi, dikenal juga hari Raya Siwaratri. Siwaratri terdiri dari 2 kata, yaitu Siwa dan Ratri. Siwa berasal dari bahasa   Sansekerta   yang   mempunyai   pengertian   baik   hati,   suka   memaafkan,   memberi   harapan   dan membahagiakan. Sedangkan Ratri adalah malam yang dapat diartikan juga sebagai kegelapan. Jadi Siwaratri dapat diartikan sebagai malam pemerilina atau pelebur kegelapan dalam diri dan hati untuk menuju jalan yang lebih terang.

Hari Suci Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender Isaka yaitu pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ke tujuh) dalam perhitungan kalender bali sebelum bulan mati (tilem), dalam kalender Masehi jatuh setiap bulan Januari. Siwaratri memang memiliki makna khusus bagi umat Hindu, karena pada saat tersebutlah Hyang Siwa beryoga, sehingga menjadi hari baik bagi umat untuk melakukan brata semadi berikut kegiatan penyucian dan perenungan diri serta melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Siwa.

Siwaratri berasal dari kata “siwa” dan “ratri”, dalam bahasa Sansekerta Siwa berarti baik hati, memberikan harapan, membahagiakan dan suka memaafkan, Siwa juga adalah sebuah nama kehormatan manifestasi Tuhan yaitu Dewa Siwa yang berfungsi sebagai pelebur atau pemrelina. Sedangkan Ratri dalam bahasa berarti malam atau kegelapan, sehingga jika diartikan Siwaratri berarti pelebur kegelapan untuk menuju jalan terang. Jadi apa sesungguhnya makna dari hari suci Siwaratri tersebut, maknanya adalah malam perenungan suci, malam dimana kita bisa mengevaluasi dan instropeksi diri atas perbuatan atau dosa-dosa selama ini, sehingga pada malam ini kita memohon kepada Sang Hyang Siwa yang juga sedang melakukan payogan agar diberikan tuntunan agar bisa keluar dari perbuatan dosa tersebut. Pada saat malam itulah umat melakukan pendekatan spiritual kepada Siwa untuk menyatukan atman dengan paramatman. Tidak sedikit yang memaknai bahwa pada malam Siwaratri ini juga dianggap sebagai malam peleburan dosa, sehingga perbuatan dosa manusia bisa lebur dengan melakukan brata semadi dan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa. Pemaknaan seperti ini tidak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis oleh Empu Tanakung, kitab atau lontar tersebut mengisahkan kehidupan seorang pemburu binatang yang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang yang tidak bersalah.

Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah:

1.      Nista, yaitu pelaksanaan Brata Siwa Ratri dengan Jagra, artinya kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Siwa Ratri disimpulkan dengan melek semalam suntuk, sambil memusatkan segala aktifitas diri pada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa. Ada yang melaksanakan jagra semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra agama,seperti kakawin dalam berbagai judul. Ada pula yang melaksanakan sauca dan dhyana. Dalam kitab Wrhaspati Tattwa disebutkan, “Nitya majapa maradina sarira”. artinya sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan. Sedangkan Dhyana dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, Nitya Siwa Smaranam, artinya selalu mengingat dan memuja Sanghyang Siwa. Brata Siwa Ratri dengan jagra tidaklah tepat kalau hanya begadang semalam suntuk tanpa arah menuju kesucian Tuhan.Jagra dalam pengertian yang sebenarnya adalah orang yang memiliki kesadaran budhi. Melek semalam suntuk hanyalah prilaku yang bermakana simbolis untuk memacu tumbuhnya budhi yang sebenarnya.

 

2.      Madya adalah pelaksanaan Brata Siwaratri dengan jagra dan upawasa. Upawasa dalam kitab Agni Purana berarti “kembali suci”. Yang dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indriya melepaskan kenikmatan makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah lidah dilewati makanan itu tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih untuk tidak terikat pada kelezatan makanan.

 

3.      Uttama, yaitu pelaksanaan Brata Siwa Ratri dengan cara Jagra, Upawasa, dan Mona Brata, artinya pelaksanaan dengan cara melek atau menyadarkan diri, menahankan kenikmatan makanan dan berusaha mengurangi berbicara (Mona). Mona artinya tanpa mengeluarkan ucapan-ucapan yang bertujuan melatih diri dalam hal berbicara agar biasa berbicara dengan penuh pengendalian sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona berarti melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian.

 

pelaksanaan Ciwaratri adalah sebagai berikut:

Untuk Sang Sadhaka disesuaikan dengan “dharmaning kawikon”. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan “sucilaksana” (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut :

“Maprayascita” sebagai pembersihan pikiran dan bathin. Ngaturang banten pajati (mempersembahkan sesajen pajati) di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian-Nya. Sembahyang kehadapan leluhur yang telah “sidha dewata” mohon bantuan dan tuntunannya. Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada “Sanggar Tutuan” atau “Palinggih Padma” atau dapat pula pada “Piasan” di Pemerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar dan diikuti sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas (mohon) “Tirta Pakuluh”. Terakhir adalah “masegeh” di depan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri ditutup dengan melaksanakan “Dana Punia” Sementara proses itu berlangsung, agar tetap mentaati upawasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya Pukul 18.00 (36 jam). Persembahyangan kehadapan Sang Hyang Siwa dengan banten pajati, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih kapitu, pada tengah malam, dan besoknya menjelang pagi.

Sumber : https://info.smkratnawartha.sch.id/pustaka/index.php/2021/01/09/makna-hari-suci-siwaratri/

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-denpasar/baca-artikel/15877/Siwaratri-Malam-Perenungan-Dosa-untuk-Introspeksi-Diri.html#:~:text=Jadi%20kalau%20dirangkai%20menjadi%20kata,masa%20depan%20yang%20lebih%20baik