Salah satu barang peninggalan sistem kepercayaan zaman praaksara adalah sarkofagus yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat. Sarkofagus merupakan kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang umumnya terdapat tonjolan pada ujungnya. Oleh masyarakat prasejarah, sarkofagus kerap dianggap sebagai "perahu roh", Sarkofagus umumnya terbuat dari batu besar yang utuh kemudian dilubangi hingga berbentuk seperti lesung. Akan tetapi ada pula yang terbuat dari logam, misalnya yang dibuat oleh bangsa Romawi Kuno. Dimana telah ditemukan Sarkofagus di Desa Mangening Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng.
Informasi penemuan sarkofagus yang terdapat di Desa Mangening diawali pada tanggal hari Minggu tanggal 18 Agustus 2024 yang disampaikan oleh wartawan Kompas kontributor Buleleng kepada staf Balai Pelestarian kebudayaan Wilayah XV. Hal ini ditindak lanjuti dengan disposisi untuk dilakukan koordinasi dan peninjauan lapangan dari Bapak Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV kepada Tim Kerja Pengamanan dan Penyelamatan. Koordinasi baru bisa dilakukan pada malam hari di tanggal 18 Agustus 2024 dengan Bapak Prebekel I Ketut Angga Wirayuda, SH.
LOKASI PENEMUAN
Lokasi Penemuan di Pura Kembulan yang terdapat di wilayah administratif Desa Mangening, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Kondisi lingkungan berupa wilayah perbukitan, sedangkan temuan berada pada wilayah “punggungan perbukitan” dengan penanda pohon beringin yang diperkirakan memiliki umur ratusan tahun. Sebagian besar wilayah sekitar lokasi temuan merupakan perkebunan cengkeh yang saat ini dalam proses awal panen. Pada bagian timur laut dari wilayah temuan merupakan jalan desa dengan lebar kurang lebih 3 meter yang kondisinya cukup baik dengan topografi tinggian menuju kearah tenggara. Berdasarkan infromasi warga, wilayah temuan merupakan wilayah utama pura yang dahulunya merupakan milik seorang saudagar dengan nama yang dikenal oleh penduduk adalah Babah Tut (warga keturunan cina yang telah lama menetap di Desa Mangening dan sudah menjadi warga Negara Indonesia).
Pura Kembulan merupakan pura yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Tegal yang merupakan bagian dari Desa Mangening (Dinas).Pura ini nampak sangat sederhana yang hanya terdiri dari 2 pelinggi (bangunan) yaitu Gedong dan juga Piyasan. Pelinggih lainnya adalah pelinggih yang memiliki konsep “mertiwi” artinya tidak meiliki bangunan, hanya merupakan susunan batu yang berbentuk pipih yang secara umun dibentuk seperti batas sebuah ruang. Terdapat 4 pelinggih yang memiliki bentuk yang hanya berupa batu ini, Tiga diaantaranya telah ditumbuhi tanaman Klawasan, Bergu, Tulak dan Uduh. Hanya satu pelinggih yang tidak ditumbuhi tanaman, karena berada pada akar beringin. Secara umum luas Pura Kembulan ini kurang lebih 460 M2 yang dihitung berdasarkan luasan pagar dan senderan yang sedang dibangun.Pada saat pengumpulan data dilakukan, kegiatan penggalian di bagian selatan pura masih tetap dilakukan yang dimanfaatkan sebagai tanah urugan sekitar senderan.
CIRI-CIRI PENEMUAN
Temuan I :
Temuan II :
ANALISA
Peti Batu (Sarkofagus) Berdasarkan pada Desertasi yang disusun oleh R.P. Soejono (1977) dengan judul “Sistem-Sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali” disampaikan penggolongan sarkofagus menurut ukuran panjang terdiri dari Kecil (antara 80-148 cm); Madya (150-170 cm); Besar (200-268 cm). Sarkofagus yang ditemukan di Mangening ini memiliki panjang hanya 46 cm, artinya tidak termasuk dalam penggolongan yang diuraikan oleh pnelitian sebelumnya. Berdasarkan bentuknya yang sederhana tanpa hiasan, dan ukurannya yang sangat minimalis, peti batu ini terkait dengan sistem penguburan skunder menggunakan media sarkofagus, yang berkembang pada jaman prasejarah Bali dari masa Perundagian yang berlangsung sekitar rentang tahun 2.500– 1.500 SM.
Fragmen Tulang Patahan-patahan dan serpihan tulang-tulang manusia yang ditemukan berdasarkan ciri-cirinya secara fisik tulang-tulang ini beberapa patahan terlihat keras, dan sangat jelas nampak sebagai tulang manusia dewasa. Fragmen tulang berada pada wadah sarkofagus lengkap dengan tutupnya, kondisi tulang talah rapuh dan patah yang bisa diamati dan diidentifikasi secara kasat mata, fragmen tulang ini terdiri dari tulang bagian kaki, tulang tengkorak, dan tulang belakang, serta 2 buah gigi geraham. Sedangkan fragmen tulang yang ditemukan pada kubur batu diidentifikasi secara kasat mata sebagai bagian dari tulang kaki dan tulang bagian belakang.
Fragmen Kubur Batu Sesuai dengan sebutannya, kubur batu serpih ini dibuat dari serpihan-serpihan batu andesit berbentuk lempengan pipih tak beraturan, yang dalam penggunaannya ditancapkan berjejer ke samping pada garis tepi kubur (informasi jero mangku setempat). Kubur batu serpih yang dilengkapi dengan bekal kubur didug menggunakan sistem penguburan primer. Sistem penguburan semacam ini berkembang pada zaman prasejarah dari masa megalitikum.
Cupu Keramik (Selepo) Sebuah benda Cupu berbahan keramik terdiri dari bagian wadah dan bagian tutup. Bagian wadah berbentuk bidang cembung dengan bagian bawah sebagai bagian kaki berfungsi sebagai dudukan. Bagian tutup berbentuk bidang cembung dan dilengkapi dengan tonjolan kecil berfungsi sebagai pegangan untuk buka/tutup.Pola hias bagian wadah menggunakan pola hias garis melintang mengelilingi badan bersusun tiga. Di tengah-tengah susunan garis glasiran tersebut berwarna abu-abu yang merupakan warna dasar dari keramik. Ornamen glasiran bagian tutup terdiri dari ornament garis melintang berbentuk melingkar bersusun empat mengelilingi bagian bidang atas. Bagian bidang tepinya pola garis-garis vertikal berjejer tiga ke samping, dan ornamen pola geometris. Berdasarkan atas model glasirannya, dapat diasumsikan bahwa model keramik ini berkembang pada masa Dinasty Tang awal yakni sekitar abad VII s.d. X Masehi.
Dua Buah Batang Besi Dua buah batangan besi di kedua bagian ujungnya runcing, berdasarkan penuturan salah satu pemangku pura pada saat penemuan posisi dua buah besi ini menancap pada bagian kanan dan kiri dari fragmen tulang. Dua buah batangan besi ini kemungkinana memiliki dua fungsi yaitu; secara praktis sebagai penyangga fragmen tulang agar tidak berserakan, serta yang kedua memiliki fungsi secara religius sebagai penolak hal-hal buruk/jahat makanya dua buah batangan besi ke dua ujungnya meruncing untuk mengamankan fragmen tulang manusia yang berada disekitarnya.
Sumber : Tim Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV (2024)