Di Jalan Erlangga Kelurahan Kampung Bugis Singaraja
dengan membelakangi Jalan Erlangga menghadap ke arah Utara atau pantai bekas
Pelabuhan Buleleng, berdiri sebuah bangunan berarsitektur Tiongkok yang dipakai
sebagai tempat beribadat bagi masyarakat Tionghoa yang beragama Budha Tridharma
di Kabupaten Buleleng. Tempat Ibadat tersebut dinamakan Tempat Ibadat Tridharma
(TITD) atau Kelenteng Ling Yuan Gong atau dalam
bahasa Hokkiannya disebut Ling Gwan Kiong. Nama Ling Gwan Kiong kalau
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia: Ling berarti Sakti, Yuan (Gwan) berarti
Sumber dan Gong (Kiong) berarti Istana. Jadi Ling Yuan Gong atau Ling Gwan
Kiong bermakna Istana Sumber Sakti.
Daerah dimana Kelenteng Ling Gwan Kiong berada
dulunya dinamakan Pabean (daerah sebelah barat dari jembatan yang sekarang),
merupakan pusat perdagangan barang-barang palen dan kebutuhan sehari-hari di
kota Singaraja. Halaman kosong yang berada diantara belakang bangunan kelenteng
dan Jalan Erlangga, dimanfaatkan untuk berjualan oleh beberapa pedagang.
Di sebelah timur Kelenteng Ling Gwang Kiong
berjarak hanya kurang lebih 50 meter terdapat jembatan peninggalan jaman Belanda
dan dibawah jembatan ini adalah muara sebuah Sungai yang bernama Tukad (sungai)
Buleleng.
Pada sebelum dan saat jaman penjajahan Jepang, di sebelah
Utara dari kali kecil (kekalen) di depan Kelenteng Ling Gwan Kiong, dulunya ada
sebatang pohon beringin besar dan beberapa pohon cemara yang lama kelamaan
dibawahnya sering dipakai untuk tempat pertunjukkan joged, janger, arja dan
yang lainnya (kesenian Bali) pada saat kelenteng mempunyai kegiatan upacara.
Belakangan, pohon beringin itu ditebang oleh tentara Jepang, dan disana
dibangun gudang kapas yang kemudian beralih menjadi gudang belerang.
Kelenteng Ling Gwan Kiong didirikan di lokasi yang sekarang
pada tahun 1873 Masehi, ini terbaca dari prasasti yang terpasang di dalam
kelenteng yang terletak persis di atas patung utama Yang Mulia Toa Kong Co Tan
Hu Cin Jin bertuliskan Tan Hu Cin Jin dalam aksara Tionghoa. Pada pahatan di
bagian kiri tertulis tahun pendirian kelenteng adalah pada tahun Tong Zhi (baca
Thong Ce) ke 12 dari Dinasti Qing (baca Ching). Konon sebelumnya, tempat
pemujaan terhadap Yang Mulia Tan Hu Cin Jin berada diseberang jalan yaitu
dilokasi toko Pelita Jaya yang sekarang / Jalan Erlangga.
Sejak dibangun 139 tahun yang lampau, kelenteng
Ling Gwan Kiong pernah dipugar secara besar-besaran satu kali yaitu pada tahun
1970 dimana biaya pemugaran saat itu maupun biaya perawatan kelenteng selama
ini semuanya berasal dari sumbangan para umat Tridharma setempat dan masyarakat
Tionghoa yang berasal dari Singaraja dan berada dirantau (Denpasar, Surabaya, Jakarta
serta kota-kota lainnya). Secara garis besar, bentuk maupun arsitektur dari
bangunan kelenteng Ling Gwan Kiong tidak banyak mengalami perubahan, hanya
bagian atap dari bangunan dinaikkan lebih tinggi sedikit dari yang semula.
Sedangkan bagian lantai dari kelenteng pernah mengalami pergantian sebanyak 2
(dua) kali, pertama pada tahun 1993-1994 dengan mempergunakan tegel ubin buatan
daerah Tabanan, dan yang kedua kalinya dengan tegel keramik seperti saat ini
pada tahun 2002.
Tahun 2000, atas prakarsa dari kelompok generasi
muda saat itu yang telah mulai banyak terlibat aktif dalam urusan kelenteng dan
kegiatan - kegiatan lain didalam masyarakat Tionghoa setempat, dan atas seijin
Bapak Bupati Kepala Daerah saat itu, memperoleh hak untuk mengelola tanah
didepan atau disebelah utara kelenteng, maka dimulailah pembangunan lantai
beton diatas kekalen, pembangunan gapura / pintu gerbang dan pertamanan yang
berada didepan kelenteng.
Serangkaian proyek ini seluruhnya rampung dan
diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2004 oleh bapak Bupati saat itu yaitu bapak Putu
Bagiada. Keberadaan pertamanan, gapura dan lain - lainnya ini menambah banyak
keindahan lingkungan dan Pelabuhan Buleleng, dan hingga kini masih terlihat
terawat dengan pemandangan sangat baik.
Kini kelenteng Ling Gwan Kiong telah merupakan
salah satu objek wisata penting di Bali belahan utara. Setiap hari tidak
sedikit wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang berkunjung Kelenteng
Ling Gwan Kiong merupakan salah satu tempat ibadat yang sangat dikeramatkan
oleh masyarakat Tionghoa di Kabupaten Buleleng, bahkan pada jaman penjajahan
Jepang tahun 1940-an, kelenteng ini juga sangat dihormati oleh tentara Jepang
Militer Saat ilpagar-pagar rumah penduduk yang
terbuat dari besi dicabuti dan diambil oleh tentara Jepang, tetapi besi besi
pagar pada sekeliling tembok pembatas dari kelenteng Ling Gwan Kiong yang berada
pada tempat yang sangat mencolok dan jumlahnya lumayan banyak tidak
diutak-atik. Pada tanggal 1 Juni 1945 saat pasukan Sekutu melakukan penyerbuan
terhadap tentara Jepang ada sebuah kapal selam milik tentara Sekutu yang
beroperasi di perairan Buleleng lalu melakukan tembakan ke arah darat dengan
sasaran penembakan mungkin jembatan yang berada disebelah Timur Kelenteng dan
juga bangunan rumah-rumah yang ada di sekitar pelabuhan, termasuk gudang
belerang itu. Akhirnya gudang tersebut tertembak dan terbakar habis. Merupakan
suatu kejadian yang sangat luar biasa adalah dari beberapa torpedo yang
ditembakkan oleh tentara sekutu melalui kapal selam ke darat saat itu, tiada
satupun yang mengenai kelenteng Ling Gwan Kiong, padahal bangunan gudang yang
berada di depan kelenteng hancur tertembak dan ada sebuah torpedo yang kandas
dan tidak meledak di muara Sungai yang berada di dekat Kelenteng. Apakah ini
merupakan suatu kejadian yang kebetulan atau menunjukkan kesaktian dari beliau
Toa Kong Co Tan Hu Cin Jin, kami serahkan kepada khalayak saja untuk memberikan
penilaian.
Dewa pujaan utama yang dipuja didalam kelenteng
Ling Gwan Kiong adalah Dewa Tan Hu Cin Jin atau Chen Fu Zhen Ren, yang berarti
orang sakti dari marga Tan atau Chen. Di dalam kelenteng Ling Gwan Kiong
penyebutan kita terhadap beliau adalah Toa Kong Co (Toa berarti besar atau
tertua, Kong berarti Masyarakat dan Co berarti nenek
moyang). Jadi Toa Kong Co bisa berarti nenek moyang masyarakat yang paling tua.
Konon ia mencapai tingkat Ketuhanan antara Pulau Bali dan wilayah Jawa Timur,
sehingga pura yang pemujaan utamanya Tan Hu Cin Jin umumnya hanya ada di
sekitar wilayah ini, misalnya saja selain di Singaraja juga terdapat di Kuta.
Kabupaten Badung, Lombok, Negara (baru bertahta pada tanggal 22 Februari 2004),
Banyuwangi, Rogojampi, Besuki dan Probolinggo. Sedangkan menurut cerita atau
legenda yang beredar di masyarakat sejak dahulu kala, ia selalu ditemani oleh
dua orang Patih bernama Ji (kedua) Kong Co yang konon berwujud Buaya, dan Sha
(ketiga) Kong Co yang katanya berwujud Harimau