0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

SEJARAH KELENTENG (T.I.T.D) LING GWAN KIONG SINGARAJA

Admin disbud | 23 Juli 2024 | 92 kali

Di Jalan Erlangga Kelurahan Kampung Bugis Singaraja dengan membelakangi Jalan Erlangga menghadap ke arah Utara atau pantai bekas Pelabuhan Buleleng, berdiri sebuah bangunan berarsitektur Tiongkok yang dipakai sebagai tempat beribadat bagi masyarakat Tionghoa yang beragama Budha Tridharma di Kabupaten Buleleng. Tempat Ibadat tersebut dinamakan Tempat Ibadat Tridharma (TITD) atau Kelenteng Ling Yuan Gong atau dalam  bahasa Hokkiannya disebut Ling Gwan Kiong. Nama Ling Gwan Kiong kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia: Ling berarti Sakti, Yuan (Gwan) berarti Sumber dan Gong (Kiong) berarti Istana. Jadi Ling Yuan Gong atau Ling Gwan Kiong bermakna Istana Sumber Sakti.

Daerah dimana Kelenteng Ling Gwan Kiong berada dulunya dinamakan Pabean (daerah sebelah barat dari jembatan yang sekarang), merupakan pusat perdagangan barang-barang palen dan kebutuhan sehari-hari di kota Singaraja. Halaman kosong yang berada diantara belakang bangunan kelenteng dan Jalan Erlangga, dimanfaatkan untuk berjualan oleh beberapa pedagang.

Di sebelah timur Kelenteng Ling Gwang Kiong berjarak hanya kurang lebih 50 meter terdapat jembatan peninggalan jaman Belanda dan dibawah jembatan ini adalah muara sebuah Sungai yang bernama Tukad (sungai) Buleleng.

Pada sebelum dan saat jaman penjajahan Jepang, di sebelah Utara dari kali kecil (kekalen) di depan Kelenteng Ling Gwan Kiong, dulunya ada sebatang pohon beringin besar dan beberapa pohon cemara yang lama kelamaan dibawahnya sering dipakai untuk tempat pertunjukkan joged, janger, arja dan yang lainnya (kesenian Bali) pada saat kelenteng mempunyai kegiatan upacara. Belakangan, pohon beringin itu ditebang oleh tentara Jepang, dan disana dibangun gudang kapas yang kemudian beralih menjadi gudang belerang.

Kelenteng Ling Gwan Kiong didirikan di lokasi yang sekarang pada tahun 1873 Masehi, ini terbaca dari prasasti yang terpasang di dalam kelenteng yang terletak persis di atas patung utama Yang Mulia Toa Kong Co Tan Hu Cin Jin bertuliskan Tan Hu Cin Jin dalam aksara Tionghoa. Pada pahatan di bagian kiri tertulis tahun pendirian kelenteng adalah pada tahun Tong Zhi (baca Thong Ce) ke 12 dari Dinasti Qing (baca Ching). Konon sebelumnya, tempat pemujaan terhadap Yang Mulia Tan Hu Cin Jin berada diseberang jalan yaitu dilokasi toko Pelita Jaya yang sekarang / Jalan Erlangga.

Sejak dibangun 139 tahun yang lampau, kelenteng Ling Gwan Kiong pernah dipugar secara besar-besaran satu kali yaitu pada tahun 1970 dimana biaya pemugaran saat itu maupun biaya perawatan kelenteng selama ini semuanya berasal dari sumbangan para umat Tridharma setempat dan masyarakat Tionghoa yang berasal dari Singaraja dan berada dirantau (Denpasar, Surabaya, Jakarta serta kota-kota lainnya). Secara garis besar, bentuk maupun arsitektur dari bangunan kelenteng Ling Gwan Kiong tidak banyak mengalami perubahan, hanya bagian atap dari bangunan dinaikkan lebih tinggi sedikit dari yang semula. Sedangkan bagian lantai dari kelenteng pernah mengalami pergantian sebanyak 2 (dua) kali, pertama pada tahun 1993-1994 dengan mempergunakan tegel ubin buatan daerah Tabanan, dan yang kedua kalinya dengan tegel keramik seperti saat ini pada tahun 2002.

Tahun 2000, atas prakarsa dari kelompok generasi muda saat itu yang telah mulai banyak terlibat aktif dalam urusan kelenteng dan kegiatan - kegiatan lain didalam masyarakat Tionghoa setempat, dan atas seijin Bapak Bupati Kepala Daerah saat itu, memperoleh hak untuk mengelola tanah didepan atau disebelah utara kelenteng, maka dimulailah pembangunan lantai beton diatas kekalen, pembangunan gapura / pintu gerbang dan pertamanan yang berada didepan kelenteng.

Serangkaian proyek ini seluruhnya rampung dan diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2004 oleh bapak Bupati saat itu yaitu bapak Putu Bagiada. Keberadaan pertamanan, gapura dan lain - lainnya ini menambah banyak keindahan lingkungan dan Pelabuhan Buleleng, dan hingga kini masih terlihat terawat dengan pemandangan sangat baik.

Kini kelenteng Ling Gwan Kiong telah merupakan salah satu objek wisata penting di Bali belahan utara. Setiap hari tidak sedikit wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang berkunjung Kelenteng Ling Gwan Kiong merupakan salah satu tempat ibadat yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Tionghoa di Kabupaten Buleleng, bahkan pada jaman penjajahan Jepang tahun 1940-an, kelenteng ini juga sangat dihormati oleh tentara Jepang

Militer Saat ilpagar-pagar rumah penduduk yang terbuat dari besi dicabuti dan diambil oleh tentara Jepang, tetapi besi besi pagar pada sekeliling tembok pembatas dari kelenteng Ling Gwan Kiong yang berada pada tempat yang sangat mencolok dan jumlahnya lumayan banyak tidak diutak-atik. Pada tanggal 1 Juni 1945 saat pasukan Sekutu melakukan penyerbuan terhadap tentara Jepang ada sebuah kapal selam milik tentara Sekutu yang beroperasi di perairan Buleleng lalu melakukan tembakan ke arah darat dengan sasaran penembakan mungkin jembatan yang berada disebelah Timur Kelenteng dan juga bangunan rumah-rumah yang ada di sekitar pelabuhan, termasuk gudang belerang itu. Akhirnya gudang tersebut tertembak dan terbakar habis. Merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa adalah dari beberapa torpedo yang ditembakkan oleh tentara sekutu melalui kapal selam ke darat saat itu, tiada satupun yang mengenai kelenteng Ling Gwan Kiong, padahal bangunan gudang yang berada di depan kelenteng hancur tertembak dan ada sebuah torpedo yang kandas dan tidak meledak di muara Sungai yang berada di dekat Kelenteng. Apakah ini merupakan suatu kejadian yang kebetulan atau menunjukkan kesaktian dari beliau Toa Kong Co Tan Hu Cin Jin, kami serahkan kepada khalayak saja untuk memberikan penilaian.

Dewa pujaan utama yang dipuja didalam kelenteng Ling Gwan Kiong adalah Dewa Tan Hu Cin Jin atau Chen Fu Zhen Ren, yang berarti orang sakti dari marga Tan atau Chen. Di dalam kelenteng Ling Gwan Kiong penyebutan kita terhadap beliau adalah Toa Kong Co (Toa berarti besar atau tertua, Kong berarti Masyarakat dan Co berarti nenek moyang). Jadi Toa Kong Co bisa berarti nenek moyang masyarakat yang paling tua. Konon ia mencapai tingkat Ketuhanan antara Pulau Bali dan wilayah Jawa Timur, sehingga pura yang pemujaan utamanya Tan Hu Cin Jin umumnya hanya ada di sekitar wilayah ini, misalnya saja selain di Singaraja juga terdapat di Kuta. Kabupaten Badung, Lombok, Negara (baru bertahta pada tanggal 22 Februari 2004), Banyuwangi, Rogojampi, Besuki dan Probolinggo. Sedangkan menurut cerita atau legenda yang beredar di masyarakat sejak dahulu kala, ia selalu ditemani oleh dua orang Patih bernama Ji (kedua) Kong Co yang konon berwujud Buaya, dan Sha (ketiga) Kong Co yang katanya berwujud Harimau