0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Desa Adat Tambakan

Admin disbud | 22 Februari 2021 | 676 kali

Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng kembali melangsungkan upacara Mungkah Wali di Pura Prajapati bertepatan Purnamaning Kasa pada Anggara Paing Sungsang. Upacara yang dilaksanakan dua tahun sekali ini menggunakan persembahan 28 ekor sapi duwe. Upacara Mungkah Wali di Pura Merajapati, Desa Adat Tambakan ini terbilang cukup unik. Pasalnya, 28 ekor sapi yang dijadikan persembahan haruslah sapi yang hidupnya diliarkan di alam bebas. Krama setempat menyebut sapi tersebut sebagai duwe, sehingga sangat dikramatkan ketika hidup di alam bebas. Sapi duwe yang ditangkap semuanya sudah dewasa, dengan berat di atas 200 kilogram. Sapi duwe yang dipersembahkan itu sudah diburu krama Desa Adat Tambakan, sejak tiga hari sebelum puncak upacara Mungkah Wali “Rangkaian upacara Mungkah Wali sudah dimulai sejak tiga hari sebelum puncaknya, diawali dengan matur piuning, kemudian dilanjutkan dengan ritual ngejuk (berburu) sapi duwe,”. Setelah berhasil ditangkap sapi duwe yang ukurannya rata-rata besar tersebut kemudian dikumpulkan dan diikat dalam satu lokasi di dekat Pura Merajapati. Jumlah sapi duwe yang ditangkap tergantung jumlah krama. Sebab, setelah dipersembahkan, seluruh daging sapi duwe akan dibagi rata kepada seluruh krama.

 
Sapi duwe yang dipersembahkan dalam upacara Mungkah Wali di Pura Prajapati itu awalnya merupakan godel (anak sapi) hasil naur sesangi (bayar kaul) oleh krama yang masesangi (berkaul). Godel tersebut kemudian dilepas-liarkan. Saat diburu untuk upacara Mungkah Wali, dipilih sapi yang sudah dewasa. Di Desa Adat Tambakan ada kepercayaan ketika permohonanya dikabulkan, maka krama yang masesangi harus naur sesangi dengan godel jantan. Oleh krama setempat, hal ini diistilahkan naur bulu geles. Godel yang boleh dipersembahkan dalam naur sesangi hanyalah godel jantan dan tidak cacat secara fisik. “Naur sesangi itu hanya boleh dilakukan setiap rahina Tilem di Pura Dalem, Desa Adat Tambakan. Godel kaul itu setelah diupacari di Pura Dalem, kemudian dibiarkan lepas begitu saja ke alam bebas,”.
 
Tradisi naur sesangi berupa godel ini, sudah diwarisi krama Desa Adat Tambakan secara turun temurun. Krama yang naur sesangi, bukan hanya dari Desa Adat Tambakan, tapi juga asal luar desa. Krama luar desa itu naur sesangi, karena pernah memohon sesuatu di Pura Dalem dan sesanginya dikabulkan Ida Batara. “Banyak krama yang datang mohon di Pura Dalem. Ada yang memohon agar dapat pekerjaan, punya anak, sukses di politik, hingga sukses di bisnis. Saat memohon itu, mereka berjanji akan mempersembahkan godel jika permohonannya dikabulkan,”. Karena saking banyak banyaknya krama yang merasa permohonannya dikabulkan, makanya setiap rahina Tilem selalu ada saja yang naur sesangi di Pura Dalem, Desa Adat Tambakan. “Kadang bisa sampai 6 ekor godel kaul dilepas-liarkan usai Tilem,”.
 
Godel kaul itu dibiarkan hidup di alam bebas. Tidak jarang, setelah tumbuh besar, sapi-sapi jantan yang dikeramatkan itu ditemukan hidup di luar wilayah Desa Tambakan, bahkan sampai ke kawasan pegunungan Kecamatan Kintamani, Bangli. Ada pula yang ditemukan di wilayah Kabupaten Badung. Namun, warga desa tetangga di luar Desa Tambakan biasanya sudah percaya bahwa sapi-sapi liar itu adalah Duwe Pura Dalem, Desa Adat Tambakan, tak berani menganggunya. Ketika upacara Mungkah Wali dilaksanakan, sapi-sapi duwe itu banyak yang ditangkap di luar wilayah Desa Tambakan, seperti di Kintamani. Keberadaan sapi-sapi duwe yang kemudian diburu itu diketahui dari informasi warga setempat. Mereka memberitahukan keberadaan sapi duwe di wilayahnya kepada krama Desa Tambakan. Sejauh ini, belum diketahui persis berapa jumlah populasi sapi duwe yang hidup liar.