Di Bali pinjam-meminjam materi dasar (khususnya dalam musik) yang kemudian diatutkan dan digunakan sebagai fondasi kekaryaan nampaknya telah menjadi hal yang lumrah dan hampir tidak pernah dipermasalahkan secara serius. Fenomena seperti ini bisa ditemukan pada sebagian besar karya musik kebyar, dengan mengambil materi-materi yang dianggap klasik dari patron musik sebelumnya (musik dalam gamelan Palegongan, gambang, gender wayang dan lain sebagainya)—kemudian dimanipulasi, reinterpretasi dengan pendekatan garap dan perspektif yang lebih segar. Sependek pengalaman penulis, tidak satupun ditemukan diskursus/dialektika yang membahas secara eksklusif peristiwa plagiat atas hak kekayaan intelektual seseorang—apakah karena saat itu kesepakatan tentang hak kekayaan intelektual belum terumuskan? karya seni masih banyak yang anonim? atau seniman kita di Bali (Buleleng khususnya) merasa bangga ketika “gaya” musiknya ditiru sampai pada kadar perbedaan yang halus sekalipun?
Saat ini fenomena “mencomot” karya seni seseorang untuk kemudian dimasukan sebagian atau bahkan seutuhnya dalam susbstansi (identitas) karya yang berbeda mulai menimbulkan dialektika, dan dalam kadar yang lebih ekstrim bisa diindikasikan sebagai kegiatan plagiat. Hal ini pula yang mulai diperbincangkan pada komposisi musik dan tari untuk Truna Gandrung yang “diklaim” sebagai karya cipta Wayan Gandera. Karya seni ada karena proses penciptaan yang aktif dan gelisah dalam melawan pendahulu yang “mapan”, proses penciptaan tidak pernah akan bisa terealisasi tanpa ada seorang pencipta—seorang pencipta adalah subjek yang tahu persis bagaimana ideologi penciptaan objek estetik yang kemudian dipertahankan sebagai karya seni, maka jelaslah bahwa identitas sebuah karya seni menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana akar penciptaan yang sesungguhnya. Tulisan ini pada dasarnya meneruskan dan mewakili pertanyaan dari beberapa penggiat seni (walaupun sesungguhnya mereka tidak perlu terwakilkan oleh siapapun)—“Apa yang dijadikan sebagai landasan untuk menautkan gelar kreator (dalam hal ini pencipta/music maker) bagi Wayan Gandera dalam komposisi Truna Gandrung—yang secara substansi memiliki tingkat perbedaan kecil dengan tari Wiranjaya penyederhaan dari Kebyar Buleleng Dauh Enjung ciptaan Ketut Merdana”. Tulisan ini sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasi pihak tertentu— bahkan lebih dari itu, tulisan ini lebih diniatkan untuk mencari parameter bagaimana gelar pencipta/kreator bisa ditautkan pada seseorang dengan substansi objek seni yang sama dalam perspektif ternetu.
“Labeling” karya seni pada dasarnya merupakan hak intelektual seorang kreator seni untuk membangun identitas yang sebelumnya tersusun dalam abstraksi pikiran sang kreator. Sebuah karya seni, apapun substansinya, tak lebih merupakan hasil pergumulan abstraksi pikiran (konsep garap) yang dikerjakan dengan intensi, penuh kesadaran dalam koridor penciptaan. Manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karenanya (dalam konteks ini) Ia menyukai penjelasan tentang bagaimana sebuah karya seni tidak akan pernah dianggap ada ketika manusia tidak meniatkan dirinya untuk berpikir secara sadar dalam realisasi wilayah “penciptaan”—dengan kata lain sebuah karya seni tidak akan pernah ada tanpa eksistensi pikiran manusia (manusia yang berpikir) yang kemudian diejawantahkan melalui kenyataan bunyi, maka pentautan gelar kreator menjadi penting sebagai sebuah legitimasi/penghargaan tertinggi, dan dalam kasus tertentu untuk memperoleh keberlanjutan informasi diseputar karya seni, baik ketika masih dalam abstraksi pikiran ataupun ketika tampil diruang pertunjukan. Seorang kreator adalah subjek yang mengerjakan objek estetis—kreator yang secara intensif melakukan penciptaan karya seni dalam kehidupannya akan diberi gelar seniman (Deni Junaedi, 2016:119). Kata penciptaan memuat acuan pada proses menghasilkan sesuatu dari ketiadaan. Baik Merdana ataupun Gandra, keduanya tentu memenuhi syarat sebagai seniman dan kreator, walaupun sesungguhnya gelar tersebut tak lebih merupakan penghargaan aklamatif terhadap keduanya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis berasumsi bahwa proses penciptaan terhadap sebuah substansi adalah usaha mengadakan sesuatu dari ketiadaan, Ia tidak terduakan secara eksklusif. Dengan memahami logika penciptaan, apakah kita bisa mengatakan bahwa saat itu Gandera sedang mencipta komposisi Truna Gandrung? Jika iya, apa yang sedang Ia ciptakan? Jika tidak apa yang Ia tidak ciptakan? Dalam batasan tertentu apakah kita bisa mentautkan gelar pencipta pada Gandera yang telah melakukan upaya kamuflase terhadap “Truna” milik Merdana yang kemudian dinamai sebagai Wiranjaya? Disisi lain beberapa sumber mengatribusikan bahwa Gandera secara jujur mengakui bahwa materi garap yang kemudian dinamai sebagai Truna Gandrung berasal dari daerah Buleleng (tidak disebutkan secara spesifik di daerah Buleleng mana). Sumber lain juga mengatakan bahwa Gandera belajar secara langsung pada Merdana di desa Kedis. Jika semua opini tersebut ditampung tentu tidak akan terhindarkan dari muatan-muatan subjektif, yang mendistorsi fakta genealogis sebuah penciptaan.
Dengan berbekalkan pendapat tentang hakekat sebuah penciptaan, konklusi dari bahasan ini mengharuskan penulis untuk setidaknya memberikan pendapat bahwa Gandera sama sekali tidak pernah menciptakan komposisi (baca; substansi musik) Truna Gandrung, Ia hanya memberi hiasan-hiasan/ornamentasi kecil dari sekian banyak materi yang telah disediakan sebelumnya dalam Wiranjaya (Kebyar Buleleng Dauh Enjung) dan lebih lanjut menamainya sebagai Truna Gandrung (karena komposisi yang sekarang dikenal sebagai Wiranjaya, dahulu hanya disebut sebagai tari Kebyar Buleleng)—kalaupun mencipta, Gandera hanya menciptakan imajinasi, reinterpretasi, dan keyakinannya terhadap musik Truna yang Ia dengarkan dalam rekaman milik Ruby Ornstein. Dalam beberapa kasus, pentautan gelar “pencipta” dalam beberapa fenomena penciptaan musik yang bersumber dari materi musik yang telah ada telah mengkaburkan batas-batas penciptaan, parameternya serba prematur—sebab tidak ada standar baku (dan sebaiknya memang tidak ada) yang dijadikan sebagai pijakan.
Merdana telah membuat dirinya dihargai pada posisi tertinggi dalam ranah penciptaan musik (baca; pencipta), berbeda dengan Gandera hanya mencipta tafsirnya kembali lewat fantasi dan rasa yang dimilikinya terhadap apa yang telah didengarkan sebelumnya. Jika pun namanya ditulis sebagai pencipta dalam pengertian holistik, itu adalah suatu yang keliru, karena Ia sama sekali tidak mencipta sebuah substansi dari ketiadaan. Namun demikian, penulis tidak hendak menentang nama Truna Gandrung yang diberikan Gandera sebagai ungkapan, fantasi, dan rasa kagumnya terhadap musik yang telah diperdengarkan kepada-Nya, tidak juga hendak menuntut pengakuan. Dengan tujuan yang lebih penting, penulis hendak memperjelas batas-batas penciptaan yang disebaliknya selalu dikaitkan dengan kreator, yaitu subjek yang membuat objek menjadi ada.
Jadi gelar pencipta adalah sebuah legalitas semi-formal yang tidak diperoleh dengan jalan yang instan, diperoleh berdasarkan kesepakatan aklamatif melalui kenyataan dan fakta penciptaan. Menurut penulis, hal itulah tidak dimiliki oleh Gandera dalam Truna Gandrung. Jikalau pun pendapat ini terbantahkan, maka seseorang akan dapat dengan mudah memperoleh gelar pencipta hanya dengan melakukan ornamentasi “kecil-kecilan”, memutasi lapisan-lapisan tekstural secara acak—seorang seniman akan dengan mudah mengklaim Gora Merdawa karya Nyoman Windha sebagai ciptaannya hanya dengan mengubah sebagian kecil ornamentasi, mengeliminasi, mensubstitusi hal-hal kecil dari lapisan tekstur tertentu dan menamainya kembali sebagai Wahyu Giri Suara misalnya.
Sekali lagi, dengan penuh rasa hormat kepada Bapak Wayan Gandera, pihak keluarga dan kolega penulis, diskursus ini tidak ingin mendiskriminasi kelompok tertentu dengan dasar argumentasi yang menjadi pertanyaan sendiri, melainkan lebih dipererlukan “nutrsisi otak” untuk memahami hakekat pencipta(an), agar tak terjadi pendistorsian fakta penciptaan.