Pura Bukit Sinunggal yang terletak di Desa Tajun Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara. Di Pura ini biasanya muncul sinyal jika ada bencana.
Jero Mangku Made Kerta, ketika nangkil Ke Pura Bukit Sinunggal mengatakan, sesuai sejarah yang diketahuinya secara turun temurun dari generasi ke generasi, Jero Mangku Made Kerta menceritakan bahwa Pura Bukit Sinunggal sangat erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Bedahulu yang ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14, dengan memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali.
“Sesuai dengan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa niki tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura dan kini disebut Desa Depaha, dan desa niki masih berbatasan langsung dengan Desa Tajun. Dulu konon dijaga oleh tokoh-tokoh yang bernama Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri,” kata Jero Mangku Made Kerta.
Menurut Jero Mangku Made Kerta, keempat tokoh tersebut diberikan tugas untuk mempersatukan masyarakat dan melaporkan keadaan yang terdapat di Desa Air Tabar dan sekitar Pura Bukit Tunggal kepada Sri Paduka Raja Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa. Pada saat itu Istana Singhamandawa terletak di antara Desa Bedulu, yang kini dikenal dengan nama Desa Pejeng. Namun masa kejayaan Kerajaan Bedahulu mulai meredup pasca diserang oleh Kerajaan Majapahit di bawah Maha Patih Gajah Mada pada Tahun 1343, dan berhasil ditaklukan pada tahun 1347.
Mulai saat itulah Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di Pulau Bali, sehingga penduduk asli orang Bali yang dikenal sebagai Bali Age mulai menyingkir hingga ke pelosok-pelosok.
Di sisi lain disebutkan pula mengapa terdapat Pelinggih Bhatara Ganesha di Meru Tumpang Pitu. Menurut sejarah, Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina sudah ada sejak abad ke-5. Beliau datang dari Gunung Himalaya, India diiringi Bathara Ganesha. Karena itu Ganesha terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu itu.
Pura Bukit Sinunggal secara geografis berada pada ketinggian sekitar 650 meter di atas permukaan laut. Kondisi pura yang berada di wilayah perbukitan membuat para pemedek yang nangkil harus rela berjalan kaki menyusuri ratusan anak tangga yang berliku sepanjang lebih dari 250 meter. Ketika sampai pada areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar dengan dua buah apit lawang di kanan kirinya dan terdapat sepasang pelinggih di bawah pohon Beringin yaitu Palinggih Empulawang. Secara niskala pelinggih ini merupakan penjaga, sebelum memasuki areal tersuci pura.
Di tengah perjalanan, di bawah rerimbunan pepohonan ada Palinggih Lebuh. Fungsinya adalah sebagai penghayatan ke Bhatara Segara. Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit, akan sampai di areal utama mandala Pura Bukit Sinunggal.
Suasana di mandala utama begitu tenang dengan beberapa pohon besar di areal pura seluas 20 are dengan pelataran pura meski sudah dipaving, namun tetap ditumbuhi lumut yang menghijau, semakin menguatkan kesan sakral dan memancarkan vibrasi kesucian. Bagi yang suka bermeditasi, tempat ini sangatlah cocok untuk menenangkan pikiran.
Jero Mangku Made Kerta menjelaskan bahwa Pelinggih utama Pura Bukit Sinunggal yaitu Meru Tumpang Pitu yang dikelilingi tembok penyengker sebagai stana dari Ida Ratu Pucak Sinunggal yang bergelar Ida Ratu Manik Astagina, sekaligus merupakan penguasa delapan penjuru mata angin. Di Meru ini terdapat juga patung Batara Ganesha dan dan Palinggih Ida Sang Hyang Pasupati.
Sedangkan di sebelah Barat Meru terdapat pelinggih Pasimpangan Ratu Ayu Melanting (Pulaki) yang arealnya disengker jadi satu dengan pohon beringin berusia ratusan tahun.
Di sebelahnya terdapat Pasimpangan Palinggih Ratu Gede Dalem Peed (Ratu Bagus Mecaling) yang berstana di Nusa Penida dan Palinggih Ratu Ngurah Tangkeb Langit atau Ratu Wayan Tebeng.
“Keberadaan pasimpangan Ratu Ayu Melanting yang berstana di Pulaki dan Ratu Gede Bagus Mecaling (Nusa Penida) merupakan wujud bhakti dari umat, yang kemungkinan belum bisa nangkil ke wilayah Pulaki dan ke Nusa Penida, cukup bisa nangkil ke Pura Bukit Sinunggal saja,” katanya.
Bagi pemedek yang kebetulan berprofesi sebagai seorang pedagang, mereka bisa nunas Daksina Linggih untuk ditempatkan di pelangkiran tempat berjualan guna memohon kelancaran dan rejeki dari Ratu Ayu Melanting.
Di sebelah Timur terdapat jejeran tujuh pelinggih yang merupakan penghayatan Sapta Dewata, terdiri atas Ratu Hyang Geni Jaya, Ratu Hyang Putra Jaya, Ratu Dewi Danuh, Ratu Hyang Tumuwuh, Ratu Hyang Tugu, Ratu Hyang Manik Gayang, Ratu Hyang Gumawang yang masing-masing berasal dari Ratu Lempuyang, Besakih, Danu Batur, Andakasa, Batukaru, Manik Gumawang dan Ratu Puncak Mangu.
“Saking kompletnya, Pura Bukit Sinunggal ini sering disebut sebagai Besakihnya Buleleng, karena di masa lalu belum ada kendaraan bermotor, jadi pemedek dari Buleleng yang ingin nangkil ke Pura Besakih cukup hanya bersembahyang di Pura Bukit Sinunggal saja. Karena semua palinggih yang ada di Besakih terdapat pula di pura ini,” beber Mangku Made Kerta.
Selain pelinggih-pelinggih tersebut, ada beberapa bangunan yang terdapat di Pura Bukit Sinunggal. Seperti gedong penyimpenan, bale gong, pesamuan dan bale dana punia
Berdasarkan petunjuk dari Jero Mangku Made Kerta, bagi para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar (yeh Tabah), kemudian dilanjutkan ke Pura Dasar Bhuwana, tempat malinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal.
Pujawali di Pura ini menggunakan perhitungan sasih, yang bertepatan dengan Rahina Purnama Kapat atau yang biasa dikenal dengan Bhatara Turun Kabeh. Krama Pangempon pura ini berasal dari 11 desa, yang ada di kecamatan Kubutambahan. Di antaranya Desa Tajun, Tunjung, Depa, Bayad, Sembiran, Pacung, Bangkah, Tamblang, Tangkid, Mangening, dan Kelampuak, yang secara bergiliran ngaturang pengnyar bila Pujawali tiba.
“Jika sudah pujawali, biasanya nyejer hingga tujuh hari lamanya. Ini dimanfaatkan oleh umat yang ada di Bali maupun di luar Bali untuk nangkil ke Pura Bukit Sinunggal,” katanya.
Namun masyarakat yang ingin nangkil di hari-hari seperti Purnama-Tilem, Kajeng Kliwon, hari Raya Saraswati, Siwaratri dan rerahinan lainnya tetap akan dilayani. Sebab pemangku di Pura Bukit Sinunggal berjumlah sebanyak 8 orang yang secara bergiliran melayani pamedek.
Pura Bukit Sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat sakral. Menurut penuturan mangku pura, bila akan terjadi bencana besar dari meru akan memancar sinar merah terang dan beberapa kali telah terbukti. Di sisi lain, pemedek yang berniat untuk membayar kaul berupa suku pat atau babi guling diharapkan untuk tidak menghaturkannya di areal pelataran pelinggih utama yakni meru tumpang pitu sebagai sthana Ida Ratu Pucak Sinunggal yang bergelar Ida Ratu Manik Astagina, Dewa Ganapati dan Pelinggih Ida Hyang Pasupati. Sebab menurut penuturan Jero Mangku Made Kerta dulu sempat terjadi peristiwa yang sangat mistis dan di luar nalar.
“Waktu itu sempat ada pamedek yang ingin membayar sesangi berupa suku pat atau babi guling lengkap dengan sesajennya. Namun ketika mau memasuki areal palinggih utama, entah darimana datangnya tiba-tiba ribuan lebah mengepung pamedek yang mau sembahyang tersebut. Sontak membuat lari kalang kabut,” tutur Mangku Made Kerta.
Sehingga sejak saat itulah tidak diizinkan menghaturkan babi guling di pelataran palinggih utama. Namun hanya diperbolehkan di jaba pura yaitu bale sekenem yang berdampingan dengan palinggih utama.Sehingga timbul inisiatif untuk membuatkan pengumuman yang berisi larangan tersebut.
Menurut penuturan beberapa pemangku, bahwa Pura ini juga banyak dikunjungi oleh pejabat-pejabat yang ingin melanggengkan kekuasaannya, seperti calon Gubernur, Calon Bupati serta masyarakat yang ingin memohon anugrah rejeki, jodoh dan jabatan. Sehingga bila musim Pilkada, lanjut Mangku Made Kerta sering calon kandidat Bupati atau gubernur mekemit disini.
Selain itu ada keunikan lain terkait keberadaan Pura Bukit Sinunggal. Di pura ini pendiri Kota Singaraja, Ki Barak Panji Sakti, pernah mengucapkan kaul. Kisahnya dimulai saat Panji Sakti hendak menyerang Blambangan pada abad ke-10. Ketika itu, menurut sejarah, dalam perjalanan menuju Blambangan, Panji Sakti kehilangan arah di lautan dan tidak melihat apa pun. Dalam kepanikan itulah ia memohon kepada Ida Batara Lingsir Manik Astagina Bukit Sinunggal agar diberi petunjuk jalan agar tidak tersesat. Untuk itu dia berkaul akan mengaturkan 6 ekor kerbau. Benar saja, sejurus kemudian muncul cahaya yang menuntun Panji Sakti sehingga sampai ke tujuan dengan selamat dan memperoleh kemenangan.
Mengingat sakralnya Pura Bukit Sinunggal tersebut, para pengunjung yang berasal dari kalangan wisatawan sangatlah dibatasi untuk berkunjung ke Pura Bukit Sinunggal ini, selain tujuan bersembahyang.
Sumber: https://baliexpress.jawapos.com/balinese/29/09/2017/pura-bukit-sinunggal-biasanya-beri-sinyal-bencana-ini-sejarahnya/