0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

PERJUANGAN DI BALI UTARA (BULELENG)

Admin disbud | 15 Mei 2024 | 711 kali

PERJUANGAN DI BALI UTARA (BULELENG)

Daerah Buleleng yang merupakan daerah Bali bagian Utara pertama kali didarati oleh pasukan Nica (Belanda) pada tanggal 27 Oktober 1945. Kapal perang Belanda mendekati Pelabuhan Buleleng dan kemudian menurunkan pasukannya didahului oleh tembakan-tembakan gencar kearah pantai. Para pejuang Buleleng telah siap untuk menyerbu mereka. Tetapi karena tembakan dari kapal serta sederhananya per senjataan yang dimiliki sehingga usaha untuk menahan pendaratan pasukan Belanda itu menjadi gagal.

Situasi seperti ini menyebabkan para pejuang muda melakukan perang gerilya. Mereka berpindah-pindah, berpindah dari satu daratan ke daratan lain atau dari satu puncak bukit ke puncak bukit lainnya. Setiap kali mereka menyelesaikan penyergapan terhadap konvoi Belanda, mereka kemudian segera bergerak menghindari kejaran pasukan Belanda. Menyelidiki perang gerilya ini cukup sulit bagi Belanda meski persenjataan mereka lebih lengkap. Perlu diketahui, seorang pejuang bernama Ketut Mertha tewas dalam penyerangan pasukan yang mendarat di pelabuhan Buleleng.

Menyadari bahwa didalam suatu gerakan diperlukan suatu organisasi yang sempurna maka oleh segenap pejuang di Buleleng dibentuklah Markas Besar Dewan Perjuangan Republik Indonesia (M.B.D.P.R.1.) yang dipimpin oleh Ida Bagus Indra. Untuk memudahkan pengaturan serta komunikasi maka wilayah Buleleng dibagi atas 4 staf yaitu:

1. Staf Timur yang terdiri dari daerah Tejakula, Kubutambahan dan Sawan. Untuk daerah ini dikordinir oleh antara lain: Pak Cilik, Intaran Seputra, Hartawan Mataram dan lain-lain.

2. Staf Selatan, meliputi daerah Sukasada yang dikordinir oleh Ida Komang Utara.

3. Staf Barat, yang meliputi daerah Banjar, Seririt (Pengastulan), dikordinir oleh Mertha Pastima.

4. Staf kota yang meliputi daerah sekitar kota Singaraja dikordinir oleh Ketut Serutu.

Seperti dijelaskan terdahulu bahwa pasukan Buleleng tergabung dalam Resimen Sunda Kecil dibawah pimpinan Let. Kol. I Gusti Ngurah Rai.

Sejak saat pendaratan Belanda tersebut, kemudian terjadi pertempuran diberbagai tempat di Buleleng, Hadangan, sergapan-sergap dilakukan secara gerilya melawan pengawalan (konvoi) pasukan Belanda. Tahun 1946 merupakan tahun paling banyak terjadi pertempuran di Buleleng karena semangat para pejuang sedang membara. 1946 pada masa kurungan di kota Singaraja (Banjar Jawa).

 Pada tanggal 27 Oktober 1946 konvoi Belanda dihadang oleh para pejuang di Pangkung Bangka di jalan yang dilalui oleh konvoi berbelok-belok dan menanjak serta berjuang dalam dikanan-kirinya. Para pejuang yang terlibat dalam pertempuran tersebut antara lain: I Gusti Ngurah Mayor, Wayan Mudana, Nyoman Oka (Api) dan lain-lainnya. Dalam pertempuran tersebut telah gugur 9 (sembilan) orang pejuang yaitu:

1. Ketut Mas.

2. Made Sukadana.

3.Gede Natih.

4. Wayan Kenak.

5. Itu tidak besar.

6. Ketut Putra.

7. Pan Subandra.

8. Minum.

9. Ketut Suka.

Kini di tempat pertempuran tersebut didirikan sebuah monument untuk memperingati Jasa para pahlawan tersebut. Beberapa per tempuran yang patut diketengahkan ialah : Pertempuran di Patas, di mana terlibat beberapa pejuang antara lain I Gusti Ngurah Partha, Sanusi dan lain-lain. Dua orang pejuang telah gugur pada pertempuran itu yaitu: Bagus Ketut Gelgel dan Moch. Ajir. Kemudian terjadi pula pertempuran di Sekumpul dimana gugur empat orang pejuang, yaitu:

1.Pan Kaun.

2. Pan Wenten.

3. Di Gulem.

4. Pan Rajeng.

Di daerah Buleleng bagian Timur misalnya di Bondalem terjadi juga pertempuran. Pertempuran di desa ini mengakibatkan 29 orang pejuang gugur. Tempat terjadinya pertempuran dapat dilihat dari daftar nama para pemuda yang gugur seperti daftar terlampir.

 

Seperti diketahui sejak pertempuran Margarana maka Pusat Perjuangan (M.B.O.) di Bali dipindahkan ke Bali yaitu di Munduk Pengorengan.

Oleh sebab itu M.B.D.P.R.I. Buleleng menggabungkan diri dengan M.B.O. Bali. Tokoh-tokoh yang mengkordinir Pusat Per juangan itu antara lain: Ketut Wijana, Wayan Nur Rai, Dewa Made Suwija dan lain-lain. Ruang gerak makin sempit dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur sebagai akibat perjanjian Renville. Bali di perintah oleh Dewan Raja-Raja merupakan alat Kolonialisme Belanda sehingga menyebabkan keadaan para pejuang makin sulit. Kendatipun demikian semangat rakyat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap menyala dan hidup di kalangan rakyat.

 Hal ini terbukti dari adanya demontrasi rakyat di Buleleng pada raja Buleleng yang menuntut agar Bali tetap masuk Republik yang berpusat di Yogya. Walaupun para demonstran dihadang oleh pasukan Belanda bersenjata lengkap namun semangat rakyat tidak dapat dikendorkan oleh senjata yang modern tersebut. Kejadian ini adalah sebagai bukti bahwa perjuangan masih tetap mendapat dukungan dari rakyat. Tetapi dibalik kegembiraan ini kondisi serta situasi tidak memungkinkan bagi para pejuang untuk mengimbangi semangat yang diperlihatkan oleh rakyat Buleleng. Mereka amat terjepit akibat hasil Perjanjian diatas. Dan yang mereka dapat perbuat hanyalah menunggu ketentuan dari pusat Jogya serta tetap berusaha memelihara semangat juang.

Pada saat-saat para pejuang kehilangan pegangan akibat ke lumpuhan materiil serta fisik maka Tuhanlah merupakan satu-satunya sebagai pegangan, sehingga atas Rakhmat-Nya cita-cita suci bangsa Indonesia dapat tercapai. Demikianlah di dalam rapat M.B.O. Bali yang antara lain dihadliri oleh Ketut Wijana, Wayan Nur Rai, I Dewa Made Suwija, Made Wijakusuma, yang bertempat tinggal di Munduk Pengorengan, timbullah idee dari seorang pejuang untuk berkaul kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang merupakan pegangan satu-satunya bagi para pejuang pada saat seperti itu. Setelah melalui musyawarah-musyawarah maka para pejuang bersepakat untuk berkaul, bahwa :

 “Bila perjuangan R.I menang, kelak para pejuang akan membangun kuil republik”.

Juga telah disepakati bahwa di pura tersebut akan ditanam 2 (dua) batang pohon beringi sebagai lambang Sang Saka Merah Putih yang ditanam masing-masing di Jeroan dan di Jabaan. Demikian disampaikan para pejuang pada pertemuan tersebut.

Kemudian dengan adanya kaul ini maka timbullah satu massalah yang cukup sulit diatasi. Masalahnya ialah: di manakah kaul tersebut diucapkan atau diikrarkan karena setelah ikrar akan dilanjutkan dengan penanaman kedua pohon beringin sebagai lambang Sang Saka Merah Putih. Para pejuang tidak mempunyai tanah untuk itu. Ingin membeli juga tidak mungkin karena tidak ada dana.

Sebagai suatu takdir kebetulan perundingan itu didengar oleh seorang petani tua bernama Bapa Wirta sebagai seorang petani yang sudah dikenal oleh para pejuang karena telah sering membantu. Mendengar para pejuang mendapat kesulitan untuk mencari tanah tempat ikrar maka petani tua itu menawarkan sebidang tanah milik keluarganya untuk keperluan ikrar tersebut. Uluran tangan tersebut diterima oleh para pejuang. Karena kesulitan pokok telah dapat diatasi, maka ditetapkanlah hari pelaksanaan ikrar tersebut. Pada tanggal 17 Januari 1948 ditanah milik keluarga Bapa Wirta tersebut dilakukanlah upacara ikrar yang berbunyi :

 "Bila R.I. menang. nanti di tempat ini akan dibangun sebuah Pura Republik".

 Puncak acara ialah penanaman 2 (dua) batang pohon beringin yang ber jarak 17 meter arah Utara Selatan. Setelah memberi penghormatan terakhir maka para pejuang secepatnya membubarkan diri karena ada berita bahwa Belanda telah mencium kejadian ini.

Sumber : Buku Tugu Bhuwana Kerta ( oleh : Putu Kumada, BA.)