Terbentuknya kesenian memang tidak bisa terlepas dari adaptasi lingkungan dimana kesenian itu diciptakan. Nilali-nilai sosial dan demografis berperan penting mempengaruhi terbentuknya suatu kesenian. Jadi eksisitensi kesenian secara kuantitas, kualitas, intensitas dan totalitas mengalami apresiasi dan evaluasi bahkan perubahan sangat dipengaruhi oleh budaya di lingkungan masyarakatnya sendiri. Adapun proses terbentuknya kesenian Di samping faktor sosial dan demografi juga dibentuk oleh faktor idiologi. Atmaja (2010: 133) yang mengacu Sanderson (1993), Geertz (1973, 1999) dan Spradley (1972) dalam Sugiarta menyatakan bahwa apapun bentuk tindakan manusia, termasuk kegiatan berkesenian tidak terlepas dari superstruktur idiologi yang ada dibaliknya. Superstruktur merupakan resep atau pola untuk bertindak bagi seseorang dalam masyarakat (Sugiarta, 2012:11,12).
Idiologi dalam berkesenian merupakan suatu “spirit emosional” seniman sebagai motivasi internal kreatif. Hal yang sangat penting harus dijadikan landasan, acuan, dan motivasi di dalam melakukan aktivitas dan kreativitas seni. Seniman sebagai pelaku seni memiliki idiologi yang sangat tinggi di dalam setiap proses kreatif berdasarkan budaya dan zamannya. Namun yang menjadi catatan penting bagi setiap seniman ketika beraktivitas kreatif dan inovatif adalah dampak yang ditimbulkan dari proses tersebut. Disadari atau tidak melalui proses itu musti ada dampak positif dan negatifnya. Begitu pula di dalam idiologi tidak bisa dipungkiri bayang-bayang positif dan negatifnya karena pengaruh internal dan eksternal. Secara fungsional apabila idiologi dijadikan ide/gagasan, pola, acuan, konsep, dan landasan sistemik proporsional dan profesional di dalam tradisi budaya dan zamannya akan menghasilkan karya seni yang bersifat kreatif dan positif. Begitu pula sebaliknya, apabila idiologi sebagai spirit emosional tidak diwujudkan secara sistemik proporsional dan professional berdasarkan tradisi budaya dan zamannya akan menghasilkan karya seni bersifat negatif dan skiptis. Menukik dibidang seni tari dan karawitan, dewasa ini koreografer-koreografer dan komposer-konposer yang ada di kabupaten Buleleng ddalam menciptakan karya musik atau tari, idiologi sebagai faktor motivasi internal terefleksi secara kental dan encer di dalam karya tarinya. Meminjam pendapatnya Sugiarta yang merujuk pendapat Abraham Maslow (dalam Gitosudarmo, 1990: 51-52) dalam teori motivasi menyebutkan bahwa; idiologi koreografer-koreografer dan komposer-komposer dalam melakukan kreativitas seni, mengalami tiga fase motivasi secara hierarkis, yaitu; a. fase pengabdian dan prestasi; b. fase mencari populeritas untuk aktualisasi diri; dan c. fase profesi komersial untuk mendapatkan penghargaan finansial (Sugiarta, 2012: 12).