(0362) 330668
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

APAKAH BALI KEBAL WABAH COVID-19?

Admin disbud | 06 Juni 2020 | 1149 kali

Dilihat dari beberapa naskah lontar-lontar dan ingatan sejarah Pulau Bali :

1. Dalam berbagai *lontar usada* (lontar pengobatan) disebutkan kosa kata wabah:
.
— *Mrana*. Kata ini berarti wabah, baik wabah yang menyerang tumbuhan, hewan, dan manusia.
.
— *Gering Agung*. Kata ini berarti terserang wabah penyakit menular, yang datang bisa sesuai musim. Lontar Usada Manut Sasih mengelompokkan berbagai penyakit menular sebagai sakit musiman yang memiliki siklus, dan sakit yang datang dalam pancaroba yang panjang, cuaca tidak menentu, berlalu lokal serta global (gumi kageringan)
.
— *Gerubug*. Artinya wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tidak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan. Kata *gerubug* bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi serempat dan mewabah.
.
— *Sasab*. Artinya wabah demam menular yang mematikan, menular secara cepat.
.
2. Istilah *gerubug* disebut dalam lontar-lontar Bali. Dari sekian banyak lontar usada di Bali, seperti: *Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai,* dll; kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar-lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai wabah. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug.
.
3. Lontar *Taru Pramana* adalah salah satu lontar yang disebutkan sebagai ajaran suci dari Bhatari Ghori (Durga) yang diturunkan ke *Mpu Kuturan* ketika dunia dilanda gerubug. Dunia dilanda wabah *cakbyag* (mati di tempat) yang memakan korban sebagian warga. Dalam suasana itu sedih dan tergerak hati Mpu Kuturan. Ia melakukan tapa memuja Bhatara agar diberi kekuatan penyembuhan. Ajaran yang diterima dalam tapa itu dikenal sebagai lontar Taru Pramana. Lontar ini menyebutkan setidaknya 202 tumbuhan di sekitar kita adalah obat yang mujarab yang bisa dipakai ketika masyarakat dilanda wabah.

4. Terekam dalam *Geguritan Jayaprana*. Geguritan ini bukan salah hanya hayalan penduduk dan bukan cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa wabah penyakit menular yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu yang lokasi kejadiannya di desa Kalianget, kecamatan Seririt, Buleleng. Ingatan komunal ini yang dirangkai dalam kisah yang terus dikenang dalam cerita rakyat, drama gong, seni pertunjukan lainnya, dan diabadikan secara tertulis dalam lontar Geguritan Jayaprana.
.
5. Tidak jauh dari Desa Kalianget, terdapat kisah cerita rakyat asal usul nama desa *Sidatapa* yang juga punya kenangan tentang wabah yang menghancurkan desanya. Mereka menyebutnya sebagai *Gering Grubug Bah Bedeg*. Menurut cerita orang-orang tua ada wabah besar terjadi di desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan dahulunya desa Sidatapa bernama desa Gunung Sari. Cikal-bakalnya ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di kawasan pedusunan Leked, Kunyit, dan Sengkarung. Ketiganya ini bergabung membentuk desa. Dinamakan Desa Gunung Sari. Tidak dikisahkan setelah berapa tahun kemudian, desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba. Warga ketakutan. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak masuk akal. Datang pertapa membantu. Setelah sang pertapa memasuki alam tapa, beliau mendapat petunjuk dan berhasil menyelamatkan sebagian warga yang terkena wabah. Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Dimaksudkan sebagai desa yang selamat karena seorang pertapa ‘siddha’ (berhasil) melakukan ‘tapa’.
.
6. Disamping penduduk Sidatapa, desa *Pedawa* juga mengenal kisah gerubug. Di barat Kalianget, di desa Banjarasem dan Kalisada juga mengenal kisah yang sama. Juga dikenal wabah itu sebagai *Gering Bah Bedeg*. Kesemuanya ada di Bali Utara.

7. Masyarakat desa *Julah* (dan juga *Sembiran*), kecamatan Tejakula, punya kisah mendalam tanaman *gerubug, sakit gede, bah bedeg* dan *gering agung*. Mereka sampai, kalau penduduknya keluar desa membawa daun *intaran* atau *mimba* (Azadirachta indica). Menurut sejarahnya daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari *gerubug*. Intaran (Mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah masyarakat. Tanaman ini di Julah sangat disakralkan, karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagi sarana upacara seperti tepung tawar. Bisa juga daunnya diusapkan di tangan untuk mematikan bakteri.
.
8. Bendesa Desa *Dukuh Penaban, Karangasem*, menjelaskan kalau desanya punya punya *tari Canglongleng*. Tari ini mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami *grubug*. Lalu ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir grubug itu. Dilakukan upacara mecaru /suguhan dengan mengogong Ida Bhatara dengan busana poleng /hitam putih. Sambil bersorak sorak *"aahh iiihhh uuuhhh.."*. Setelah itu dilakukan grubug pun hilang. Bendesa Dukuh Penaban menyebutkan tarian itu sampai saat ini selalu ditarikan setiap ada upacara /aci di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban.
.
Dari lontar-lontar, kisah rakyat, ingatan turun-temurun, kita diajak siap melihat masa lalu: *Gerubug pernah menyerang Bali*. Gerubug pernah memporak-porandakan Bali, tidak dilupakan demikian saja, masih diingat sebagai cerita, sebagai mitos, bahkan masuk menjadi bagian pementasan kesenian tradisional. *Artinya: Bali tidak kebal dari wabah.

Tulisan ini disarikan dan diringkas dari tulisan *Sugi Lanus* yang berjudul: “Bali Gerubug, Jayaprana Yatim-Piatu”, dimuat di terbitan online Tatkala.Co

Repost from @bali.sakral