Barong sebagai wujud budaya dalam Agama Hindu di Bali Utara tidak banyak ditemukan, bahkan budaya bebarongan yang sangat marak di Bali Selatan tidak ditemukan di Bali Utara. Kalaupun ada dibeberapa daerah seperti Pemaron, Tejakula termasuk langka dan perkecualian. Dengan demikian Tari Barong di Bali Utara tidak memiliki taksu sakral seperti di Bali Selatan. Hal ini dapat dipahami karena kesenian memiliki ikatan kental dengan masyarakat pendukungnya. Karena di Bali Utara banyak juga dikuasai oleh orang Bali Selatan dalam kepariwisataan maka event dianggap sukses di Bali Selatan dilaksanakan pula di Bali Utara, sehingga Barong di Bali Utara tidak memiliki basis sistem religi seperti di Bali Selatan. Karena Bali Utara adalah "ngekor Bali Selatan" maka Tari Barong yang sudah kehilangan akar budaya dan religi juga ditarikan di Bali Utara dalam memeriahkan sebuah ajatan Bulfest tahun 2014, 2015 dan 2016.
Tari Barong merupakan pertunjukan tradisional di Bali yang menggambarkan pertempuran antara Barong dan Rangda yang sangat terkenal dan sering dipertunjukkan sebagai atraksi budaya untuk wisatawan. Terutama Tari Barong imitasi, sebagai duplikasi dari Tari Barong sakral.
Barong adalah karakter dalam mitologi Bali, ia merupakan padanan dari Rangda. Banaspatiraja adalah esensi rohaniah yang mendampingi/menjaga manusia dalam hidupnyan (catur sanak). Banaspatiraja dipercaya dipercaya sebagai roh yang memberikan taksu/sakti/kekuatan magis pada Barong sebagai roh pelindung. Di Bali terutama di Bali Selatan banyak ditemukan Barong yang menjadi pelindung "sarwa butah, sarwa tatwam, sarwapranidah sakino bawantu swaha" di Bali. Setiap Barong yang mewakili daerah tertentu digambarkan sebagai makhluk motilogi yang berbeda, ada Barong Bangkung dan Bangkal, Barong Ket, Barong Landung, Barong Wayang (Barong Lepas), Barong Macan, Barong Paksi Jetayu, Barong Sapi, Barong Kijang, Rangda dan sebagainya.
Secara genealogis lebih hakiki, Barong sebagai manifestasi pelindung Desa Pakraman merupakan genealogi atau fungsionalisasi dari kebalian (catur sanak) Mrajapati, Anggapati, Banaspati dan Banaspatiraja. Mrajapati nyaga satru di pakraman (melinggih ring mrajapati di ulun setra), Anggapati berfungsi jaga satru pekarangan rumah menjadi Jro Tugu, Banaspati nyaga satru jadi Panglurah Agung di Sanggah dan Banaspatiraja menjadi nyaga satru kemana saja dan dimana saja, termasuk jadi Barong dengan berbagai bentuk dan representasinya. Barong Landung khusus terkait dengan kultus Dewa Raja (Jayapangus dan Kang Ceng Wie), Barong Macan Ciwa Bhuda (genealogi dari mitos Gagak-Aking).
Kalau dianalisis secara filosofis dan ideologis, Tari Barong Ket selalu diikuti oleh Kera Hitam dalam pementasannya, sebagai simbol kepercayaan Bali Kuno (sejak zaman megalitikun) telah mengikuti religi Awatara Wisnu (Rama-Shinta) dengan simbol monyet hitamnya, sebagai perwujudan sekta waisnawa (lihat Pageh, "Ideologi Bali Aga ..., tahun 2010).
Pertunjukan Barong antara Barongket dengan Rangda, dapat dipahami terjadi pertarungan sekta Bali Asli/Melayu Austronesia dengan sekta Ciwa (Rangdeng Dirah), digambarkan ada dalam posisi keseteraan, karena sapih dalam pertarungan itu. Di Bali dikenal ilmu putih (white magic) dan ilmu hitam (black magic) merupakan esensi budaya dan sistem religi tersebut rwabhineda di Bali semuanya fungsionalisasi dari Banaspatiraja yang dikoptasi menjadi dewa-dewa oleh Hindu setelah Agama Hindu abad ke-8 memasuki Bali, dari Gunung Raung oleh tokoh Rsi Markandeya yang diiringi oleh Wong Aga, sehingga kemudian menjadi Wong Bali Aga setelah berkembang dan berkolaborasi dengan Wong Bali Mula.