Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, berada di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran perbukitan yang memisahkan Bali bagian utara dengan wilayah selatan. Jaraknya sekitar 9 Km dari kota Singaraja, sehingga tidak sulit untuk mencapai lokasi desa ini, meskipun berada di balik bukit yang dikelilingi kebun cengkeh dan kopi. Jalan raya menuju desa itu seluruh permukaan aspalnya mulus, sedangkan jalan-jalan desa yang lebih sempit diperkakas dengan semen. Pegayaman terbagi dalam empat banjar atau dusun adat, yakni Banjar Dauh Rurung, Banjar Dangin Rurung, Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian sebagai kepala dusun.
Uniknya, umat Islam di Desa Pegayaman membubuhi nama urutan keluarga sesuai tradisi Bali, seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga), di nama depan mereka yang berbau Islam. Akan tetapi ada perbedaan yang mencolok pada hiasan rumah.Umat Islam Pegayaman tidak menggunakan ukir-ukiran yang merupakan hal wajib bagi rumah warga Hindu di Bali. Rumah penduduk muslim juga tidak dilengkapi bangunan sanggah/merajan yang menjadi tempat persembahyangan keluarga di salah satu sudut rumah warga Hindu di Bali.
Umat Islam di Pegayaman tidak merasa eksklusif. Hal ini dapat diamati pada saat perayaan Hari besar Agama Hindu seperti menjelang Nyepi, umat Islam ramai-ramai membantu tetangganya yang beragama Hindu membuat dan mengarak “ogoh-ogoh”. Pada saat Nyepi pun, mereka menghentikan aktivitas sehari-hari dan berdiam diri di dalam rumah untuk menghormati umat Hindu yang melaksanakan ritual tapa brata. Demikian halnya pada hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu turut memberikan makanan kepada tetangganya yang muslim dan tentunya halal, sebagaimana informasi dari Nyoman Nesa (65), warga Pegayaman.
Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Kurban, umat Islam yang melakukan tradisi “ngejot” atau memberikan makanan kepada tetangga sekitar rumah. Prilaku seperti itu mencerminkan kehidupan yang harmoni dan penuh toleransi dan sudah barang tentu ini haruslah dicontoh oleh seluruh desa-desa lain untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Sehingga pada akhirnya tercipta ketentraman dan kedamaian dalam menapak kehidupan ini.
Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka yang muslim meminjam konsep nama-nama kerbat Hindu seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Secara historis Islam di Desa Pegayaman sudah ada sejak Raja Buleleng, Panji Sakti, berkuasa pada abad ke-15. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, sepuluh Desa Pegayaman, pada saat Panji Sakti berkuasa pernah mendapat hadiah seekor gajah dan 80 prajurit dari Raja Surakarta di Jawa Tengah.“Hadiah itu sebagai bentuk persahabatan antara kedua kerajaan. Prajurit dari Jawa itu ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan prajurit kerajaan di Bali bagian selatan seperti Raja Mengwi dan Raja Badung,” katanya. Para prajurit dari Jawa kemudian menetap dan kemudian berbaur dengan masyarakat lainnya. “itu cerita saya terima dari orang-orang dulu,” kata Ketut Ibrahim.
Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok kaum urban yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik pada 1850 Masehi. Rombongan itu diduga berasal dari bugis, Sulawesi Selatan.Hal itu dapat dilihat bahwa sampai saat ini, tetua Desa Pegayaman adalah seorang keturunan Bugis.Mereka menetap di Desa Pegayaman yang berjarak sekitar 9 km dari Singaraja sebagai Ibu Kota Buleleng. Di desa itulah mereka menetap dan berbaur dengan warga asli Pegayaman yang beragama Hindu hingga beranak-pinak.
Kesenian khas Desa Pegayaman, yang disebut burba. Lagu dan tarian ini memang sangat Islami, tetapi kental dengan nuansa Bali. sebab, para “pelaku”-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sebagian besar penduduk desa ini muslim. Mereka disebut “Nyama Slam”, atau “saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya. pekerjaan pokok mereka berkebun. Hal ini ditegaskan oleh I Ketut Ahmad Ibrahim, (80 th), mantan pensiunan anggota TNI yang sudah belasan tahun menjadi Kepala Desa Pegayaman.
Lebih jauh juga dikatakan olehnya bahwa tidak punya masalah dengan umat lain agama dan tidak merasa berbeda. Kecuali dalam syariat,”katanya.Perbedaan itu pun tak membuat mereka berjarak, apalagi menjadi eksekutif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, noneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
Dalam masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut system patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.
Dalam kasus percintaan dua anak manusia, jika seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung tetapi bicara melalui celah di balik dinding. Berbeda halnya jika pertemuan tidak didasari atas cinta pertemuan boleh dilakukan secara langsung dengan si gadis. Dan kunjungan kerumah gadis juga tidak boleh di malam hari tetapi pada siang hari sebab tradisi yang ada gadis setelah waktu adzan maghrid tidak diperkenankan keluar rumah. Sedangkan proses alkulturasi dalam bidang arsitektur masjid sudah terjadi pada awal kedatangan Islam ke Bali sehingga wujud masjid di Bali menunjukan perpaduan antara kedua seni budaya yang bernafaskan Hindu dan agama Islam. Begitu pula alkulturasi dibidang kekerabatan sebagian besar warga yang memeluk agama Islam dengan meminjam nama depan dalam kekerabatan Hindu Bali sehingga muncul nama seperti Wayan Muhamad Saleh dan atau Made Jalaludin. Dalam kehidupan pertanian pun umat Muslim menerapkan tata cara seperti yang dilakukan oleh petani yang beragama Hindu meskipun dalam hal mensyukuri saat panen yang berbeda tetapi esensinya sama.