Gedong Kirtya terletak dekat Puri Kawan dan Puri Suwela maupun Museum Buleleng di kota Singaraja (termasuk Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng) dan berada di tepi Jalan Veteran No.20 Singaraja yaitu jalan jurusan Singaraja-Denpasar, dan dapat ditempuh dengan menggunakan jasa angkutan umum. Gedong Kirtya dibangun di atas tanah seluas 0,12 Ha terdiri dari beberapa bangunan. Bangunaan depan adalah ruang perpustakaan, dan bangunan yang ada di bagian belakang adalah ruang pempinan beserta staf administrasi/karyawan. Gedong ini sebagai tempat mendeposit naskah-naskah hasil karya para pujangga dan tokoh-tokoh zaman dulu tersebar disejumlah tempat di Bali dan Lombok yang sangat berguna di bidang keilmuan pada zaman Belanda hingga kini masih tersimpan rapi I Made Pageh salah seorang dosen Sejarah Undiksha menjelaskan bahwa ide untuk mengabadikan semua daun lontar yang berisikan tentang cerita dan ilmu pengetahuan itu muncul dari cendekiawan Belanda, yaitu F.A Liefrinck dan H.N.Vander Tuuk, keduanya merupakan penyelidik kebudayaan, adat istiadat dan bahasa Bali. Ide ini kemudian disambut oleh Residen Bali dan Lombok dan juga cendikiawan Belanda L.J.J Caron, hingga terwujudlah pertemuan di Desa Kintamani Kabupaten Bangli.Dari pertemuan itu terwujud sebuah yayasan tempat penyimpanan lontar atau manuskrip.Yayasan lontar ini digalang oleh Doktor Poerbatjaraka, Doktor WR Stuterhaim, Doktor Goris, Doktor Pighaen dan Doktor Sheehoikess.Para cendekiawan ini dibantu oleh pinandita dan raja-raja se-Bali. Mengingat kala itu Singaraja merupakan sebuah ibu kotaProvinsi Sunda Kecil, maka yayasan itu didirikan di Buleleng pada tanggal 2 Juni 1928. “L.J.J Caron adalah seorang Residen Bali-Lombok pada saat itu, dia mendirikan Gedong Kirtya itu dalam usahanya untuk menghargai jasa seorang cendikiawan Belanda yang banyak melakukan penelitian, penyelidikan dan kajian tentang Bali, yaitu dua tokoh besar yang dihormati itu adalah F.A Liefrinck dan Tuuk. Disamping itu pendirian Gedong Kirtya adalah untuk menghornati dua tokoh besar di atas yang banyak melakukan penelitian ini, mengadakan kajian dan penelitian dibidang kebudayaan Bali.
Penelitiannya tentang Bahasa Bali dan Adat istiadat BalibBanyak yang dikaji oleh tokoh ini, sehingga ada keinginan dari L.J.J Caron itu untuk mengumpulkan hasil kajiannya itu untuk dijadikan bahan pelajaran. Hasil-hasil budaya terutama artefak-artefak yang berupa lontar, tutur-tutur dan sebagainya yang memang dijadikan pedoman hidup oleh orang Bali dikumpulkan di Gedong Kirtya terutama adalah lontar-lontar yang tersebar di daerah Bali dan Lombok terutama yang banyak di Lombok Barat termasuk lontar-lontar yang tertulis dalam Bahasa Sasak. Tiga bulan kemudian yaitu pada tanggal 14 September 1928 baru diresmikan penggunaannya secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang ada di Batavia pada saat itu. Dijelaskan pula bahwa perubahan nama Gedong Liefrinck- VanderTuuk menjadi Gedong Kirtya, tak lain karena orang Bali kesulitan melafalkan nama asing. Hal ini dibuktikan dari hasil-hasilkajian akademis termasuk hasil-hasil sumber ilmu pengetahuan tradisional dalam bentuk lontar dan tutur dicerita tadi itu, sesungguhnya memang mulanya seperti diberi nama“Gedong Liefrinck-Vander Tuuk”. Akan tetapi ketika Buleleng diperintah oleh seorang Raja Gusti Putu Jelantik dari tahun 1937-1940-an, maka kata Gedong Liefrinck – Vander Tuuk itu ditambah dibelakangnya dengan kata Kirtya, yang artinya Yasa. Nangun Kerthi artinya Nangun Yasa, Miasa. Mencari sesuatunya menjadi Gedong Liefrinck – VanderTuuk Kirtya. Akhirnya menjadi Gedong Kirtya.Gedong ini sudah popular dimasyarakat, Kirtya lebih popular lagi dibandingkan dengan Liefrinck – Van der Tuukyang hanya dikenal satu dua orang sehingga akhirnya lambat laut lebih popular Gedong Kirtya.
Ketika kita memasuki pintu gerbang Gedong Kirtya terlihat pahatan manusia menaiki gajah dengan busur panah ditangannya kemudian membunuh musuhnya, dan orang yang kena panah itupun mati. Gambar ini diperlihatkan dengan monogram atau Chandra Sengkala. Adpun makna simbol gambar tersebut diantaranya manusia merupakan symbol angka 1, gajah symbol angka 8, panah symbol angka 5 dan orang mati nilainya 0. Jadi kalau dibaca tahun Icakanya adalah Icaka 1850., yang sama artinya dengan tahun 1928 Masehi sebagai awal dibuka secara resmi untuk umum (lihat Pageh, 2012, Aryana, 2013). Berdasarkan informasi bahwa ada beberapa lontar yang pernah dipinjam oleh Pusbud Bali agar segera diminta kembali untuk lengkapnya koleksi yang ada di Gedong Kirtya ini.
Sementara ini Gedong Kirtya mendeposit lontar atau manuskrif yang sangat menarik para cendikiawan domistik, maupun mancanegara apalagi dijadikannya Gedong Kirtya sebagai salah satu objek wisata.Hal ini sangat menguntungkan mengingat Gedong Kirtya menjadi sumber dokumentasi nilai-nilai budaya Bali.Oleh karena itu banyak peneliti dalam dan luar negeri memanfaatkan kepustakaan yang ada di gedong ini. Gedong Kirtya sebagai salah satu objek wisata memiliki daya tarik khusus bagi wisatawan/instansi atau individu yang ingin mengetahui lebih mendalam mengenai nilai-nilai sosial budaya yang pernah berkembang di Bali, yaitu:
1.Gedong Kirtya menjadi sumber dokumentasi nilai-nilai budaya Bali.
2.Gedong Kirtya merupakan perpustakaan khusus tentang sastra Bali/Jawa Kuno Klasik dan Sasak, yang ditulis di atas daun lontar.
3.Sekarang diperkirakan ada 6000 judul naskah, dengan sekitar 4000 judul ditulis di atas daun lontar, dan 2000 judul di tulis di atas kertas. Masih ada sekitar 200 judul dalam bentuk fotokopi. Naskah-naskah tersebut berisi : karya sastra, sejarah kuno, yang ada kaitannya dengan sastra Bali/Jawa Kuno, Wariga, cerita rakyat, geguritan, kidung, tutur dan sebagainya.
4.Naskah-naskah tersebut dapat dipinjam setiap jam kerja, dengan beberapa persyaratan yang harus patuhi.
Sebagai perpustakaan khusus tentang sastra, piodalan dilangsungkan setiap hari Sabtu, Umanis, Watugunung bertepatan perayaan hari Saraswati.