Pada tahun 1920-an pemerintah Belanda sedang menggalakkan pariwisata budaya bali, dengan program yang dikenal dengan program Baliseering. Pada tahun itu Belanda melihat adanya gejala gerakan nasionalisme sangat kuat di Indonesia, diawali dengan berdirinya Budi Utomo 20 Mei 1928, gerakan ini sangat kuat pengaruhnya pada golongan terdidik atau terpelajar di Jakarta (Sekolah Stovia Jakarta), gaungnya sangat besar di Bali. Untuk menghindari masuknya ideologi radikal yaitu Islamisme, nasionalisme dan komunisme ke Bali, maka mulai ada gerakan membalikkan Bali ala kepentingan kolonial Belanda.
Baliseering adalah usaha Belanda menjada keaslian Bali agar tidak diislamkan, dikristenkan dan dinasionalkan maka muncul gerakan Baliseering pertama lahir di kelungkung dipelopori oleh seorang pemilik sekolah di kelungkung bernama Flierhaar (1919). Kemudian mendapat sambutan hangat di Parlemen Belanda, kemudian dijadikan program kolonial Belanda di Bali untuk menjadikan Bali sebagai Daerah Tujuan Wisata Budaya Eksotik. Mulailah dipublikasikan ke Eropa pertama dilakukan oleh seorang Mantri Kesehatan yang bertugas di Bangli bernama Gregor Krause melalui KPM maskapai pelayaran kerajaan Belanda yang secara berkala datang ke wilayah nusantara ketika itu.
Arja juga termasuk ada dalam usaha untuk memperkaya daya tarik Bali dalam kesenian atau budaya lokal. Sesungguhnya arja menggambarkan kehidupan masyarakat pada jalam kerajaan, terutama konflik Daha dan Kediri dan kerajaan selanjutnya. Gambaran persaingan itu dalam Arja di Bali berlanjut, digambarkan dalam seni di Bali semacam opera khas Bali, merupakan sebuah drama tari yang dialognya ditembangkan secara mecapat. Drama-tari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat.
Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (Bahasa Sanskerta) yang berarti keindahan Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut Gaguntangan yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. Arja diperkirakan muncul pada tahun 1920-an pada masa pemerintahan Raja Klungkung I Dewa Agung Klungkung, setelah hampir dihapuskan oleh Agung Maruti. Tahun 1920-an ini adalah masa bersamaan dengan situasi zaman (pemerintah) ingin mengajegkan Bali dengan tujuan dijual dalam pariwisata budaya eksotik. Seperti orang mandi di sungai telanjang bulat, membakar mayat, budaya nguying, sanghyang, alam indah, angunan seribu pura dan sebagainya.
Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat terutama karena menghadirkan komedi segar. Arja muani hanya sebagai sempalan dari Arja sebelumnya, hanya pemeran dan lakonnya berkembang, mulanya Mantri diperankan oleh wanita, dimikian juga Galuh Liku berubah menjadi diperankan oleh laki-laki, sedang Punta dan Mijil sebagai penerjemah cerita masih tetap dilakonkan oleh laki-laki.
Kesulitan memainkan Arja karena diikuti oleh tembang macapat, yang harus dimiliki oleh seorang Mantri, tentu kualitas performance dan kualitas suara dan kompetisi ikutannya harus dimiliki, sehingga sulit mencari figur seperti yang diidealkan dalam tari Arja itu.