0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Meletusnya Perang Jagaraga

Admin disbud | 12 November 2019 | 3852 kali

Bersama dengan jatuhnya kraton Buleleng ke tangan Belanda pada bulan Juni 1846, atas desakan patih I Gusti Jelantik, raja Buleleng memutuskan untuk mengundurkan diri. Bersama-sama dengan laskar dan rakyat yang masih setia raja dan patih Jelantik mengundurkan diri arah ke timur dengan tujuan Desa Jagaraga. Sambil mundur, sisa laskar dan rakyat tetap melakukan perlawanan terhadap serdadu Belanda. 

Ada beberapa alasan yang telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil keputusan mengundurkan diri ke Jagaraga Alasan-alasan tersebut antara lain : Patih Jelantik menyadari bahwa kondisi persenjataan pasukannya tidak seimbang dengan persenjataan Belanda, sehingga akan sia-sia melanjutkan pertempuran. Untuk menghindari korban yang lebih banyak Patih Jelantik memerintahkan masa laskar dan rakyat yang tetap setia mundur ke Desa Jagaraga. 

Keyakinan dan keputusan Patih Jelantik untuk mengusir Belanda dari Buleleng telah mendorong untuk mengadakan konsilidasi kekuatan laskar Buleleng. Desa Jagaraga dipilih sebagai tempat konsolidasi tersebut. Selain itu, Desa Jagaraga juga ditetapkan sebagai benteng utama untuk bertahan, sebagai pusat gerakan serangan-serangan terhadap Benteng Belanda di Pabean maupun kedudukan Belanda di Singaraja. Desa Jagaraga sekaligus berfungsi sebagai ibukota atau pusat pemerintahan sementara dari kerajaan Buleleng. Pemilihan Desa Jagaraga sebagai pusat konsolidasi, sebagai benteng dan sebagai ibu kota, telah dipertimbangkan oleh Patih Jelantik dari berbagai segi, antara lain :

1. Keadaan Geografis Desa Jagaraga dan sekitarnya yang terdiri atas daerah perbukitan dan jurang yang berlapis-lapis diharapkan merupakan rintangan atau hambatan terhadap gerakan pasukan Belanda yang tidak atau belum mengenal medan, tetapi sebaliknya merupakan medan yang sangat strategis bagi laskar Buleleng untuk melakukan serangan-serangan mendadak dan mengejutkan musuh.

2. Jalan satu-satunya yang menghubungkan Desa Jagaraga dengan jalan raya Sangsit - Buleleng adalah jalan sederhana yang sebagian berada dibawah perbukitan dan mengikuti alur lembah, akan memudahkan pengintaian dan penyerbuan mendadak oleh laskar Jagaraga yang bersenjatakan tombak dan keris.

3. Jarak Pabean-Jagaraga yang relatif pendek, memudahkan Patih Jelantik untuk dengan cepat mengetahui keadaan Belanda di Singaraja dan di Pabean, baik lewat jalur selatan maupun lewat jalur utara (pantai).

4. Ada satu kecenderungan besar pada diri Patih Jelantik dalam memilih Desa Jagaraga sebagai benteng perang, karena salah seorang istrinya yang paling dicintainya berasal dari Desa Jagaraga. Hal ini diharapkan untuk memperoleh simpati dan bantuan sepenuhnya dari pejabat dan rakyat Desa Jagaraga sehingga benteng Jagaraga dapat bertahan lama.

Hal ini sangat penting karena Desa Jagaraga merupakan daerah yang kaya akan hasil bumi yang sangat diperlukan dalam memenuhi perbekalan laskar Buleleng dalam jangka waktu yang panjang sambil mundur kearah selatan, Patih Jelantik terus menerus memerintahkan kepada sisa-sisa pasukannya untuk menahan serangan-serangan Belanda yang kejam. Dalam waktu seminggu dari tanggal 29 Juni sampai 5 Juli 1846, Patih Jelantik berhasil melalui Belanda, sehingga Belanda tidak mengetahui dengan baik taktik apa yang sedang dilakukannya. 

Pada hari terakhir pengundurannya, Patih Jelantik memerintahkan kepada laskarnya untuk melakukan politik bumi hangus terhadap Ibu Kota untuk mengimbangi perampokan-perampokan dilakukan oleh serdadu-serdadu Belanda. Tanggal 5 Juli 1846 Kraton Raja Buleleng diduduki oleh Belanda. Untuk merahasiakan rencana konsulidasi patih I Gusti Ketut Jelantik menyetujui taktik rajanya I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengadakan perjanjian penyerahan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Patih Jelantik bermaksud mempergunakan perjanjian ini untuk merealisasikan rencananya dan pada suatu saat akan memukul dan mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng khususnya dan keluar Pulau Bali pada umumnya.

Pada tanggal 9 Juli 1846 diadakan perjanjian antara raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem dengan Belanda juga antara raja Karangasem Anak Agung Gde Ngurah

Terlibatnya raja Karangasem dalam perjanjian penyerahan ini karena dalam Perang Buleleng raja Karangasem terang-terangan membantu raja Buleleng dengan mengirimkan laskar bantuan dibawah pimpinan Made Jungutan, walaupun agak terlambat. Disamping itu juga karena raja Buleleng masih satu keluarga dengan raja Karangasem.  

Diantara fatsal-fatsal yang termuat dalam perjanjian penyerahan itu, terdapat fatsal-fatsal yang sangat menjengkelkan dan merendahkan derajat Raja Buleleng, antara lain :

1. Raja Buleleng dan Raja Karangasem harus mengaku bahwa kerajaannya berada dibawah kekuasaan Gubernemen mengakui Raja Belanda sebagai tuannya.

2. Karena itu, baik Raja Buleleng maupun Raja Karangasem tidak boleh lagi mengadakan/membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya.

3. Raja Buleleng dan Raja Karangasem harus dengan segera menghapuskan peraturan tawan karang dan harus  membantu dan menyelamatkan setiap kapal dilaut yang masih termasuk pantai/perairan kedua kerajaan tersebut.

4. Yang sangat memberatkan dan menjengkelkan dari fatsal dalam perjanjian itu adalah fatsal satu dalam perjanjian tambahan, yang mengharuskan Raja Buleleng dan Raja Karangasem membayar hutang biaya perang dan pembuatan benteng Belanda di Pabean, dengan perincian tiga bagian dibayar oleh Buleleng dan satu bagian lagi dibayar oleh Karangasem. Pembayaran harus lunas dalam waktu 10 tahun dengan nilai 300.000 gulden.

Patih Jelantik sendiri tidak ikut menghadiri dan mengesahkan perjanjian tersebut. Raja Buleleng hanya disertai oleh dua orang pejabat kerajaan yaitu Ida Bagus Tamu dan I Nengah Rawos.