Untuk menambah kekuatan laskarnya, patih Jelantik mengirim utusan kepada raja Klungkung sebagai susuhunan raja-raja di Bali dan kepada raja-raja sahabat lainnya. Utusan yang menghadap kepada raja Klungkung di pimpin langsung oleh patih I Gusti Ketut Jelantik.
Setiap utusan yang dikirim, membawa sepucuk surat raja Buleleng, yang isinya antara lain pemberi tahuan tentang keputusan raja Buleleng untuk mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng khususnya dan dari pulau Bali umumnya. Untuk ini kepada raja-raja diminta kesediaannya untuk memberikan bantuan material terutama penambahan jumlah laskar lengkap dengan persenjataannya.
Ternyata hampir seluruh kerajaan di Bali bersimpati terhadap cita-cita perjuangan raja Buleleng dan patih Jelantik untuk mengusir Belanda dari Bali. Bala bantuan berupa laskar, telah berdatangan dari beberapa kerajaan langsung menuju Jagaraga.
Dewa Agung Putra sebagai susuhunan raja-raja Bali, secara resmi mendukung keputusan patih Jelantik dan memberikan bantuan laskar sebanyak 1650 orang, yang terdiri dari prajurit pilihan gabungan Klungkung-Gianyar lengkap dengan persenjataannya, di bawah pimpinan I Dewa Ketut Agung. Seluruh laskar bantuan Klungkung ini, langsung berangkat menuju Jagaraga. Disamping bantuan dari kerajaan Klungkung berdatangan pula laskar bantuan dari kerajaan Mengwi sebanyak 600 orang, dari kerajaan Karangasem 1200 orang dibawah pimpinan I Made Jungutan dan Gede Padang menjelang akhir tahun 1846, di ibu kota Jagaraga telah berkumpul laskar bantuan antara 7000 sampai 8000 orang, lengkap dengan persenjataannya. Laskar ini kemudian digabungkan dengan laskar Buleleng yang dipimpin oleh Ida Bagus Tamu dan I Nengah Rawos, sehingga merupakan laskar yang besar jumlahnya. Sebagai pimpinan tertinggi adalah patih I Gusti Ketut Jelantik, sebagai pemegang komando dan kepala strategi. Walaupun menurut stuktur pemerintahan kerajaan Buleleng yang memegang puncak kekuasaan adalah raja Buleleng, tetapi dalam praktek pemerintahan, kekuasaan militer serta keputusan peperangan, sepenuhnya berada di tangan patih I Gusti Ketut Jelantik.
Untuk menampung ribuan laskar ini, patih Jelantik membuat pondok-pondok laskar yang tersebar di seluruh perkampungan yang berada disekitar pusat kedudukan pemimpinnya dalam jarak yang tidak jauh dari daerah perbentengan. Kebutuhan makanan serta lainnya perlengkapan lainnya, semua disiapkan dan ditanggung oleh rakyat desa Jagaraga dan desa-desa sekitarnya, Dapatlah dibayangkan bertapa besar jumlah sediaan yang sedang dibina dan dipersiapkan jangka waktu hampir dua tahun lamanya.
Beberapa rumah penduduk, atau pejabat-pejabat desa, dijadikan sebagai gudang senjata, mulai dari gudang senjata tradisional seperti keris, tombak, pedang dan perisai, sampai kepada gudang senjata api serta peluru dan mesiinya. Untuk memperoleh suatu kesatuan laskar yang betul-betul tangguh dan berani patih Jelantik terus-menerus mengadakan latihan-latihan terhadap laskar campuran itu. Dalam latihan-latihan tersebut, terutama sekali diajarkan tentang sistem pertahanan dan penyerangan yang akan diperguankan nanti dalam menghadapi serangan-serangan Belanda.
Patih Jelantik menyadari bahwa kekuatan sedadu Belanda terutama terletak dalam kelengkapan, persenjataannya yang terdiri atas senapan dan meriam-meriam. Disamping itu pasukan Belanda selalu membawa perbekalan dan perlengkapan yang berlebihan, sehingga tidak mungkin serdadunya akan kelaparan dalam peperangan yang memakan waktu yang lama. Untuk mengimbangi kekuatan Belanda ini, patih Jelantik telah memilih sistem pertahanan supit urang (makara wyuha). Hal ini dapat dilihat nanti ketika patih Jelantik menghadapi serangan Belanda dalam tahun 1848. Kiranya patih Jelantik ingin memperaktekan kebijaksanaan raja Yudistira dalam cerita perang Bharatayudha, ketika pandawa harus menghadapi serangan Kurwa yang memusatkan kekuatannya pada kekuatan persesnjataannya.
Patih Jelantik menyadari bahwa daerah pantai sulit sekali dipertahankan, karena mudah ditembaki oleh Belanda dengan peluru meriamnya. Karena itu patih Jelantik membuat pusat pertahanannya di depan desa Jagaraga dengan perkiraan bahwa tempat-tempat tersebut tidak akan dicapai oleh peluru-peluru meriam atau mortir Belanda. Agar laskar dapat bertahan dengan tangguh dalam jangka waktu yang lama, maka patih Jelantik membangun benteng yang kuat, tinggi dan tebal serta dapat bertahan terhadap benturan-benturan peluru meriam Belanda yang mungkin dapat mencapainya. Pada lapisan terdepan, ditanami pohon bambu berduri (tihing gesing) sebagai penghalang atau penutup bagi pasukan Belanda yang datang dari arah simpang tiga jalan dari Sangsit dan Bungkulan. Hanya dibuat satu pintu masuk diantara hutan bambu tersebut.
Di antara lapisan bambu berduri dengan benteng utama, digali parit-parit yang lebar dan dalam dan pada dasar parit ditancapkan ranjau-ranjau ( sungga poleng). Parit ini nantinya akan dialiri dan berfungsi sebagai jebakan terhadap serdadu Belanda yang sudah melewati parit tersebut melaui sebuah jembatan perangkap yang mudah dirusakkan.
Tembok benteng utama dibuat dari timbunan tanah liat yang disusun membentuk tembok tebal sebagai bukit lengkap dengan kamar-kamar pengintai dan kamar-kamar senjata api serta kamar-kamar bagi laskar bantuan. Tembok tebal ini membentang di depan pura Dalem Jagaraga, muali dari sebelah timut di tepi barat sungai Bungkulan sampai dengan tepi jurang desa Jagaraga sebelah barat. Selanjutanya tembok benteng itu terputus-putus itu sesuai dengan kondisi medan yang berbukit dan berlembah dan berakhir dekat tepi sungai Sangsit,.
Di belakang tembok benteng terletak Pura Dalem Jagaraga, dipakai sebagai pusat markas dan pusat komando. Raja I Gusti Ngurah Made Karangasem dan patih I Gusti Ketut Jelantik berada di pura ini. Di belakang pura, dalam jarak kira-kira 500-600 meter, terletak desa Jagaraga yang merupakan tempat perkampungan laskara sebagai pusat perbekalan dan gudang senjata. Sistem perbentengan Jagaraga dibuat sedemiakian rupa sesuai dengan rencana pertahanan dan penyerangan yang akan deperguanakan oleh patih Jelantik yaitu sistem makara wyuha ( supit urang).
Pada bagian kepala, akan ditempati oleh patih Jelantik, raja Buleleng dan para pengatur perang sebagai pusat komando. Pada ujung supit kiri dan kanan ditempatakan pasukan Buleleng dan Jagaraga yang gesit dan lincah serta sudah mengetahui keadaan medan dengan baik. Pada bagain mulut yang berada dan di belakang tembok benteng ditempatkan pasukan campuran dari kerajaan-kerajaan sahabat. Benteng lambung barat dipercayakan kepada laskar Jembrana dan Mengwi. Sedangkan kekuatan benteng pada bagain badan,dipercayakan kepada pasukan Klungkung, Gianyar dan Karangasem. Pada bagain ekor ditempatkan pasukan-pasukan bantuan dan perbekalan yang terdiri dari laki dan perempuan. Istri patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring ikut ambil bagain memimpim laskar yang ditugskan mempertahankan tempat-tempat suci.
Di luar daerah perbentengan, membentang alam desa Jagaraga yang diharapkan banyak membantu mempersulit gerakan serdadu Belanda. Hanya ada satu jalan yang mesti dilalui oleh serdadu Belanda kalau memasuki desa Jagaraga. Pada akhir tahun 1847, benteng Jagaraga sudah mendekati penyelesaiannya. Patih Jelantik merasa puas dan hal ini telah menambah semangat tempur seluruh laskar serta merasa yakin bertempur melawan serdadu Belanda. Patih Jelantik mulai lagi melakukan serangan-serangan yang bersifat gerilya terhadap kedudukan di Pabean dan melakukan perampokan-perampokan terhadap kapal yang berbendera Belanda di sepanjang pesisir utara Buleleng yang dilakukan oleh laskar-laskar nelayan Buleleng. Peristiwa-peristiwa ini telah membuat serdadu Belanda marah dan merupakan salah satu dalih untuk menyerbu Jagaraga.