0362 3303668
087894359013
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Seni Sebagai Komuditas

Admin disbud | 03 Agustus 2017 | 1236 kali

Era globalisasi dan pariwisata sebagai anak kandung dari globalisasi dan kapitalisme dewasa ini, banyak seniman yang menjadikan seni sebagai profesi, usaha untuk mendapatkan penghasilan seperti profesi lainnya. Seperti Insinyur, dokter, pedagang dan sebagainya. Kini kedudukan seni telah diperlakukan secara proposional dan profesional oleh golongan masyarakat tertentu untuk dijadikan tempat mencarai pengupa jiwa/ matapencaharian/sumber kehidupan. Seni tidak masih difungsikan sebagai persembahan dan ngayahsemata, namun sebagian berubah fungsi menjadi seni yang diupah dan dibayah. Akibatnya menjadi seni pesanan yang disesuaikan dengan kesenangan pemesan, waktu yang tersedia, tempat pementasan, profan dan sebagainya. Dengan demikian banyak pagu seni yang semulanya harus diikuti untuk memunculkan taksu sebuah seni, menjadi hilang akibat diperkosa oleh kepentingan pementasan tadi. Jadi seni untuk pemesan, sehingga pencipta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi penontonnya yang memesan.

Seni sebagai sebuah profesi harus mampu beradaptasi dengan pesanan (hotel, restouran, tamu asing/lokal) pemilik modal dan kepentingan, karena pilihannya tetap bertahan seperti semula berarti siap mati karena tidak ada pesanan, atau berubah mengikuti pesanan yang berakibat taksunya akan mendangkal bahkan hilang.

Globalisasi informasi, ekonomi dan kebudayaan memberikan peluang kebebasan, keterbukaan seluas-luas dan selebar-lebarnya untuk menggapai sesuatu secara cepat dan tak terbatas, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pesanan di atas/ duniawi. Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma kebudayaan dari sifat-sifat kebudayaan ekspresif menjadi sifat-siafat budaya yang progresif. Perubahan terjadi karena faktor luar seniman dan lingkungan seniman, karena harus beradaptasi dan menyesuaikan dengan keadaan yang disodorkan oleh pelaku pariwisata budaya di lapangan. Demikian pula tidak bisa dipungkhiri terjadi pergeseran tatanan nilai-nilai kebudayaan dari budaya moral, spiritual menjadi budaya komersial, material dan individual. Dalam situasi dan kondisi seperti ini terbentuklah: ekonomi pasar bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas, Keanekaragaman produk, informasi, tanda, dan kesenangan yang tanpa batas skala global dan pilihan lain yang menjanjikan. Faktor-faktor eksternal itu bukan hanya mengubah bentuk dan fungsi tetapi juga mengubah makna dan filosopis pencipta seni dan penikmat seni. Seperti misalnya seni joged bumbung (awalnya) telah bertransformasi ke bentuk joged yang sangat menyakitkan bagi masyarakat yang memandang joged itu adalah seni halus yang mengambarkan percintaan dan aksi percintaan laki-perempuan sebelum menuju ke pelaminan. Menjadi eksplitasi seks bebas, aksi seks pulgar yang sangat mengugah nafsu dan mengumbar nafsu dalam pementasannya. Berpulang pada pilihan tadi, mau ngebor disewa masyarakat, tidak mau maaf tidak disewa. Secara fungsional pemerntah yang bertugas melindungi dan mempertahankan joged seperti yang diidealkan secara kalasik, tidak jarang menjadi murka dan marah, malu dan merah mukanya karena tidak dapat menjelaskan jiwa zaman terakhir terkait dengan kebebasan seks yang menjadi ciri pengaruh luar. Saar atau tidak masyarakat kita sudah kena bius kesenangan fisik seperti itu, lupa pada keadiluhuhang sebuah seni petunjukan, karena kalau tidak dibumbui yang berbau seksualitas sepertinya bagaikan sayur tanpa garam. Cenk Blonk dengan kelihaiannya melakukan eksploitasi halus secara kultural, mengangkat isu kontemporer kepermukaan termasuk seks, kapitalisme, korupsi, politik, budaya sekuler, teknologi dan sebagainya sehingga banyolannya disenangi dan dijadikan refrensi dalam wacana di masyarakat.

 

Tidak bisa dielakan, di Bali termasuk Kabupaten Buleleng melalui fenomena globalisasi dan global paradoxal terjadi dalam substansi berintikan empat revolusi utama (four revolutions) yaitu: Telecommunication, Transformation, Trade and Tourism. Transformasi ini berangkat dari sistem fisik dan lahiriah menembus dengan sangat pesat kedalam tataran kelembagaan dan sistem nilai menyentuh jiwa kebudayaan Bali (Griya, 2008: 60,61).  Lebih jauh Griya mengatakan proses pembesaran skala yang berlangsung sangat cepat, pesat dan kompleks dengan energi kebendaan yang sangat progresif berpotensi ganda. Disatu sisi membuka berbagai peluang yang bersifat ekonomi, teknologi, sosial dan kultural, serta dipihak lain membawa ancaman komersialisme, materialism dan individualismebahkan sistem religi di Bali. Secara umum sebuah karya seni tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial budaya dan politik masyarakatnya. Dengan demikian perubahan secara revolusi terjadi sejak 1970-an dengan adanya globalisasi, sebagai kelanjutan dari kapitalisme eropa barat dengan pengikutnya termasuk di Bali. Bahkan secara hakiki kita tidak sadar dengan kulit yang sama telah berubah isi mengikuti sistem budaya barat (kapilatlisme), dalam pemikiran globalisme terjadi. Atau kita telah berubah dari komunitas masyarakat seni berdasarkan prinsip “monotheisme”, semuanya dipersembahkan pada Tuhan yang Maha Esa, berubahmenjadi seni dengan prinsip “moneytheisme” yaitu seni yang dipersembahkan untuk mendapatkan uang (money).

Bali sebagai destinasi budaya (centre of tourism destination) atau pusat tujuan wisata oleh pemerintah Indonesia dengan paradigma pariwisata budaya, sehinga pulau Bali menjadi populer dan rami dikunjungi oleh wisatawan, baik domistik maupun internasional, Bali bagaikan gula dengan semut wisatawannya (dunia pariwisatanya). Menghadapi deras dan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali memiliki dampak positif dan negatif. Masyarakat sebagai sistem sosial sangat ringkih dalam menghadapi pengaruh negatif dunia pariwisata, karena kekuasaan, kapital, dalam penyiapan sarana dan prasarana sering berselingkuh di dalamnya. Desa Pakraman sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan adat dan budaya Bali sudah berubah menjadi benteng terbuka  yang tidak dapat lagi menghadapi pengaruh globalisasi, kapitalisasi, dan individualisasi karena sering dalam beberapa kasus ada benteng kekuasaan di belakangnya. Rakyat berjuang sendiri, dan penguasa bermain mata di baliknya. Dalam beberapa kasus sepertinya hanya media (cetak, elektronik, medsos) yang setia mendampingi perjuangan masyarakat dalam mempertahankan tanah Bali, karena ruang budaya dan ekonomi ini sesungguhnya benteng terakhir pertahanan budaya, etnik, termasuk adat Bali.  

Pariwisata juga merupakan angin segar bagi pelaku kesenian untuk memasarkan dan memperdagangkan hasil-hasil kesenian mereka. Mulai saat itu beranekaragam bentuk komoditas seni baik dalam bentuk souvenir, pertunjukan-pertunjukan, dan lain-lain sejenis yang diimbangi dengan munculnya agen-agen pariwisata bagaikan jamur dimusim hujan. Dalam dalih merebut pasar dan promosi, sangat banyak para pengrajin di Bali memproduksi barang-barang kreatif dengan memodivikasi seni klasik yang telah mapan menjadi barang-barang komuditas yang disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pasar dan pariwisata. Tidak canggung-canggung benda seni yang sebelumnya dianggap sakral disulap menjadi benda sekuler. Demi uang para pengrajin melakukan berbagai cara untuk meraup keuntungan yang setinggi-tinggi, kadangkala mereka tidak mengenal kawan dan lawan karena terhimpit oleh persaingan yang sangat sulit.Yang paling memprihatinkan adanya duplikasi atau imitasi budaya dengan menggunakan sistem cetak cor (a cire perdue) atau mencetak dengan papan negatif (bevalve) menjadikan sangat riskan terhadap plagiasi.

Tidak jauh berbeda apa yang dialami dalam seni pertunjukan yaitu terjadi persaingan yang sangat tajam dan kejam. Berbagai macam jenis seni pertunjukan kemasan pariwisata diciptakan yang kesemuanya bersaing secara ketat demi kepentingan ekonomi. Awalnya sekitar tahun 50-an jenis-jenis pertunjukan yang dijadikan suguhan pariwisata adalah sangat minim sekali seperti misalnya; Barong Kuntiseraya yang juga disebut Barong and Keris Dance, Tari Kecak yang juga disebut Monkey Dance dan Tari Legong.

Dalam perkembangan selajutnya berbagai kompenen pariwisata boming di Bali antaranya agen-agen, lembaga-lembaga pariwisata baik formal maupun suasta, seni pertunjukan termasuk calo-calo pariwisata dan pedagang acung juga berkeliaran. Lebih jauh dalam seni pertunjukan pariwisata R. M. Soedarsono dalam bukunya yang berjudul: Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan ada lima cirri utama dari seni pertunjukan wisata di Negara yang sedang berkembang yaitu: 1)tiruan dari aslinya; 2)singkat atau padat atau bentuk mini dari aslinya; 3)penuh variasi; 4)ditanggalkan nilai-nilai sakral, magis, serta simbolisnya dan 5)murah harganya (1999: 2).