Wanita bangsawan diapit dayang-dayangnya ketika menjalani tradisi ke pura, thn 1910an. Bagi wanita Bali, tradisi merupakan sebuah dilema. Ia memberi tempat untuk menunjukkan sosok dan jatidiri, menyuguhkan tuah; tapi juga sebuah medan yang memaksa mereka untuk takluk. Keputusan-keputusan penting menyangkut kehidupan desa, mengesampingkan peran wanita. Skenario upacara adat, agama, lebih banyak direkayasa oleh laki-laki. Wanita Bali mensyukuri skenario itu. Bagi mereka, rekayasa tradisi merupakan sebuah peluang menyabet peran khas: membuat dan menghaturkan sesaji misalnya, mengurus yang serba suci. Maka sesungguhnya, beruntunglah siapa saja yang dilahirkan sebagai wanita Bali, karena mereka segera bisa dibedakan dari perempuan lain. Pada akhirnya Bali adalah sebuah tempat unik kehidupan perempuan. Di sini orang bisa menyimak wanita tak cuma fisik, juga emosi. Tak hanya ketidakberdayaan, juga peran. Barangkali itu sebabnya, wanita Bali, yang punya mata indah seperti mata kijang, tampil sederhana, tidak meledak-ledak, tapi bertuah.
#Repost from Instagram @sejarah.buleleng
www.sejarahbali.com | follow ig @sejarahbali | line: sejarahbali
Sumber: Gde Aryantha Soethama (tatkala.co), Foto: KITLV