Dalang Ida Putu Sweca dari Banjar, Buleleng memainkan Wayang Kulit di tahun 1925. Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber inspirasi dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Di tahun (898 - 910) Masehi
#wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seper
ti yg tertulis dlm prasasti balitung: Sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara). Di jaman mataram hindu ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dlm bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 - 1042 Masehi mahabharata yg berbahasa sansekerta 18 parwa dirakit menjadi 9 parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa Raja Erlangga.
Di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas dan sudah dilengkapi berbagai hiasan pakaian. Seiring runtuhnya Majapahit, akhirnya para seniman kerajaan migrasi ke pulau Bali yg saat itu kerajaannya berpusat di Swecapura Gelgel #Klungkung. Daerah di sekitar kerajaan Gelgel, seperti di desa Kamasan, merupakan desa perkampungan para seniman saat itu. Oleh karena itu Klungkung merupakan pusatnya kebudayaan dan seniman Bali. Namun seiring runtuhnya kerajaan Gelgel Klungkung, dan kerajaan2 yg ada di Bali mulai berdiri sendiri, keberadaan para seniman termasuk seniman Wayang mulai menyebar ke berbagai kabupaten.
Kesakralan wayang dipakai pada upacara Pitra Yadnya (ngaben) dgn lakon2 pencarian air suci. Begitu pula pada upacara Manusa Yadnya seperti otonan dan potong gigi. Sekarang, situasi sdh sangat berbeda. Hiburan begitu banyak berseliweran. Pertunjukan wayang kulit pun ingar-bingar dgn pengeras suara. Tetapi, kenapa justru tidak ada yg menonton?. Pergelaran wayang kulit yg masih ditonton adalah pergelaran non sakral, yg dipenuhi banyolan2. Dalang yg kondang adalah dalang yg punya banyak peluru banyolan.
#Repost from Instagram @sejarah.buleleng
www.sejarahbali.com
Sumber: Majalah Raditya, foto: TropenMuseum