(0362) 330668
disbudbuleleng@gmail.com
Dinas Kebudayaan

Wayang Wong Tejakula Kesenian Sakral Yang Ditetapkan Jadi ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’

Admin disbud | 25 April 2019 | 1041 kali

Wayang Wong Tejakula merupakan kesenian cukup tua di Kabupaten Buleleng. Pementasannya pun cukup menarik. Itu dilengkapi ucapan, tarian dan makekawin. Maka tak heran kesenian yang telah ada secara turun-temurun ini ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Kesenian Wayang Wong yang dapat pengakuan UNESCO---badan dunia di bawah PPB yang mengurusi segala hal menyangkut bidang pendidikan, sains, dan kebudayaan ini merupakan tarian sakral yang lahirnya berawal dari peristiwa kerauhan di abad ke-17.

Penyerahan sertifikat ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ kesenian Wayang Wong Tejakula ini dilakukan saat pembukaan acara Buleleng Fesstival (Bulfest) IV 2016 di depan Tugu Singa Ambara Raja, Buleleng, 2 Agustus 2016 lalu. Sertifikat dari UNESCO tersebut diserahkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Arie Budhiman, kepada Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana. Penyerahan penghargaan untuk kesenian Wayang Wong Tejakula ini nyambung dengan tema Bulfest IV 2016, yakni ‘Master Pieces of Buleleng’ (berarti penyajian garapan dan karya terbaik Buleleng). Pementasan wayang ini tak bisa dilakukan di sembarang tempat dan waktu. Yang bersifat sakral diperbolehkan saat ada piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, Piodalan di Pura Danka, serta Ngenteg Linggih. Sebelum ditarikan, topeng yang dikenakan penari harus melalui proses upacara Bhakti Pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan. Wayang ini juga ada yang bersifat tontonan atau profan. Itu bisa dipentaskan di luar upacara agama. Topeng yang digunakan merupakan duplikat yang asli.

Wayang Wong Tejakula adalah tradisi budaya cukup tua, yang diperkirakan sudah ada sejak pertengahan abad ke-17, melalui proses kelahiran yang mistis. Ketika itu, salah seorang kepercayaan Ida Batara yang berstana di Pura Maksan mendadak kerauhan (kerasukan). Melalui raga orang kepercayaannya yang kerauhan ketika itu, Ida Batara meminta harus ada kesenian Wayang Wong yang dipentaskan di Pura Maksan dan pura-pura lainnya wilayah Desa Pakraman Tejakula. Pasca muncul permintaan secara niskala melalui proses kerauhan itu, para tokoh seni di Desa Pakraman Tejakula kemudian berkumpul, lalu sepakat membuat sebuah kesenian Wayang Wong. Dalam kumpulan tokoh-tokoh seni itu, hadir pula dua seniman besar I Gusti Ngurah Jelantik dan I Dewa Batan. Kedua seniman besar itu pula yang membuat tapel-tapel berbahan kayu yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 tapel yang dibuat saat itu. Ratusan topeng tersebut terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Kelompok Laksamana, Kelompok Sugriwa, Kelompok Wibisana, Kelompok Rahwana, Kelompok Kumbakarna, Kelompok Raksasa, hingga Kelompok Punakawan.Tapel (topeng) yang jumlahnya mencapai 175 buah warisan abad ke-17 itu kini distanakan di Pura Maksan Tejakula. Topeng-topeng itu hanya digunakan di waktu-waktu tertentu ketika pementasan sakral Wayang Wong Tejakula di pura-pura. Topeng-topeng tersebut dipakai Sekaa Wayang Wong Tejakula yang anggotanya mencapai ratusan orang. 

Sebagai kesenian sakral, Wayang Wong Tejakula memiliki banyak hal pingit (sakral) di dalamnya. Kesenian ini bertahan melalui warisan turun temurun secara mistis. Sekalipun orang itu awalnya tidak bisa menarikan Wayang Wong Tejakula, namun jika sudah waktunya menari, maka yang bersangkutan dengan sendirinya akan bisa menari.