Utsawa (Parade) Gong Kebyar Legendaris Duta Kabupaten Buleleng yang diwakili oleh Sekaa Gong Kebyar Legendaris Eka Wakya,Br. Paketan, Ds Adat Buleleng, Kec. Buleleng, Kab. Buleleng pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI Tahun 2024, bertempat di Panggung Terbuka Ardha Candra, Senin (9/7).
Sekaa Gong Kebyar Legendaris Eka Wakya membawakan pagelaran tabuh dan tari yakni Tabuh Kreasi DWI KORA, Tabuh NEM LELAMBATAN “GALANG KANGIN” Style Banjar Paketan, Tari GELATIK dan Tari SUBALI SUGRIWA.
TABUH KREASI DWI KORA
Dibawah binaan seniman hebat yang bernama Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha) pada akhir tahun 1940an sampai dengan 1970an, Nama Eka Wakya sangat dikenal banyak orang sampai Tanah Sasak Lombok. Membawa eka Wakya ke istana Negara Tampak Siring sampai 4 kali, dan Meraih banyak juara dalam perlombaan.
Dengan mewarisi Tabuh Kreasi yang sebelumnya sudah ada yang pada awalnya hanya berjudul Gegenderan dan diciptakan oleh Bapa Cening Britem dan Gede Manik dituangkan pada jamannya di Sekaa Gong Eka Wakya pada awal tahun 1940an. Dipentaskan pada tahun 1960 dalam lomba gong Se Nusa Tenggara dengan memperoleh Juara 1 dengan nama Tabuh Kreasi Gegenderan binaan
Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha). Berlatar pada peristiwa Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta,
Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) Pada tahun tersebut untuk membangkitkan semangat nasionalis dalam peristiwa konfrontasi terhadap Malaysia, dan terispirasi dari perintah Presiden Soekarno, Alm Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha) yang merupakan sosok ABRI saat itu, dan sekaligus Pahlawan Nasional Indonesia serta sosok seniman karawitan yang hebat kembali menata tabuh gegenderan dengan mengAransemen serta merekontruksi kembali dan diberi Judul TABUH KREASI DWIKORA yang dipentaskan pada tahun 1964 di Istana Tampak Siring, Bali.
TARI GELATIK
Tari ini sebelumnya disebut Tari Ngajah Gelatik, pada saat ini disebut dengan Tari
Gelatik, diciptakan pada tahun Desember 1980, dan pementasan perdana ditampilkan di Sasana Budaya Singaraja 10 Pebruari 1981 dalam rangka pelantikan pengurus ISTATA (Ikatan Seniman Tari dan Tabuh) Kabupaten Buleleng oleh ketua ISTATA Poropinsi Bali Wayan Sudhama. Tari ini diciptakan dengan tema, sebagai ungkapan mendukung sepenuhnya program pemerintah yaitu pelestarian alam dan lingkungan yang pada masa itu gencar dilakukan oleh Mentri Lingkungan Hidup Emil Salim. Pada intinya tari ini mencerminkan ulah manusia yang memperlakukan binatang penghuni maya pada sekehendak hatinya.Burung di “ajah”/ajar teknik terbang dan leher terikat tali, dan dengan menggunakan media tongkat sebagai pengendali dan tempat berpijak. Burung dilatih terus menerus padahal sudah kepayahan, namun manusia masih memperlakukan sekehendak hatinya. Pada akhirnya manusia sadar bahwa burung itu memerlukan kebebasan hidup sebagai halnya dirinya sendiri,dan rela lepas kembali ke habitatnya semula untuk menikmati kesegaran alam kebebasan .
TARI SUBALI SUGRIWA
Pertempuran sengit menggema di hutan belantara. Dua kera saling beradu kekuatan, mempertaruhkan tahta dan harga diri. Sugriwa dan Subali, dua saudara kandung, terjebak dalam pusaran ambisi dan dendam. Sugriwa dan Subali adalah putra Dewi Anjani dan Resi Gotama. Sejak kecil, mereka telah menunjukkan bakat dan kekuatan yang luar biasa. Konflik bermula ketika Subali merebut tahta Kerajaan Kiskenda dari Sugriwa. Sugriwa diusir dari kerajaan dan hidup dalam pengasingan. Di tengah keputusasaannya, Sugriwa bertemu dengan Rama yang sedang mencari Dewi Shinta. Sugriwa, dengan bantuan Rama, berhasil membunuh Subali. Namun, kemenangan itu diraih dengan cara yang tidak terhormat. Kematian Subali yang
curang ini menimbulkan penyesalan dan kutukan dari para dewa. Kisah Sugriwa-Subali bukan hanya tontonan yang menghibur, tetapi juga kisah tentang perebutan tahta dan pengkhianatan. Kisah ini menunjukkan bagaimana ambisi dan rasa dendam dapat membawa kehancuran dan tragedi. Kisah ini juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga persaudaraan dan nilai-nilai luhur seperti kejujuran dan keadilan. Tercipta Pada masanya sekitar tahun 1950,an oleh Almarhum I Wayan Beratha bersama Alm Gde Manik. Direkontruksi dan di Aransemen kembali dengan menata kekotekan, dan Kekebyaran yang dinamis oleh Alm Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha) pada tahun 1960,an saat membina di Banjar Paketan.
TABUH NEM LELAMBATAN “GALANG KANGIN” STYLE BANJAR PAKETAN
Lelambatan Klasik Palegongan adalah gending-gending yang biasa disajikan dengan mempergunakan barungan Gong Gede yang lasim disebut Gamelan Pegongan. Di Banjar Paketan sendiri sebelum gamelan yang saat ini digunakan telah memiliki barungan gamelan Pegongan yang dibawa tahun 1917 ke Lombok dan masih tersimpan dan digunakan dengan rapi di Lingkungan Babakan, Desa Gerung Utara, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat. Banyak Terdapat tabuh tabuh tua yang terwarisi sampai saat ini di Banjar Paketan, salah satunya Gending Tua Galang Kangin. Pada masanya sekitar tahun 1950,an Almarhum I Wayan Beratha bersama iparnya yaitu Alm Mayor (Purn) TNI AD I Gusti Agung Made Kertha (Mayor Kertha) dan juga Bapak Gde Manik bersama-sama membina di Banjar Paketan Singaraja, ketiga sosok ini adalah seniman yang memiliki talenta kreatif dan karya-karya yang diciptakan diterima masyarakat, digemari, serta dikagumi karena metaksu. Tabuh tabuh Tua klasik yang ditata menjadi lelambatan kreasi karya Wayan Beratha, salah satunya adalah Tabuh Nem Galang Kangin. Dalam perkembangannya tabuh ini memiliki persi-persi yang berbeda. Puncak kejayaan tabuh ini sekitar tahun 1968. Menggambarkan Endag Matan Ai kangin yang diawali riuh suara burung mengiringi terbitnya matahari yang lumrah disebut Galang Kangin. Seiring perkembangan jaman yang sangat pesat tabuh ini sudah jarang untuk dibawakan, Pada penampilan saat ini, maka direkontruksi kembali Tabuh Galang Kangin Style Banjar Paketan Buleleng.