Sebuah kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengambil tema "Pemetaan Tipologi, Potensi dan Karakteristik Desa Adat di Bali" yang diadakan di ruang rapat Dinas Kebudayaan Buleleng yang dipimpin oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan Buleleng, Jumat (23/8). Tim peneliti dari UNHI Denpasar diantaranya Prof.Dr.phil. I Ketut Ardhana, M.A. (UNHI), Prof.Dr.Yekti Maunati, M.A (LIPI), Dr.Kol. Dewa Ketut Budiana, M.Fil (UNHI), Drs.Dundin Zaenuddin, M.A (LIPI) dan Dr. I Putu Sastra Wibawa (UNHI). Kegiatan FGD ini diikuti oleh Ketua Paruman Sulinggih Buleleng, Ketua PHDI, Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, Ketua Pinandita Buleleng, Kelihan Subak Kedu Desa Panji, Dosen Sejarah Undiksha, Kelihan Banjar Buleleng, Kelihan Desa Adat Buleleng, Kepala SMK N 1 Singaraja dan Pemuda Pelopor. Tujuan dari FGD ini adalah untuk membahas adat-istiadat, tradisi dan budaya yang ada di Desa Adat Bali Aga.
Kategori Desa yaitu terdapat di 3 desa Bali Aga yang memiliki potensi masing-masing yang berkaitan dengan keajegan yaitu kebudayaan masing-masing desa yang berkaitan dengan pengembangan kebudayaan yang merupakan hasil kreatifitas yang ditampilkan dan diadakan rekonstruksi pada budaya yang hampir punah seperti tari legong tombol dan tari janger kolok dari desa Bengkala.
Terdapat juga tari sakral yang diciptakan oleh ISI seperti tari rejang renteng dan bagaimana pengembangan itu disesuaikan dengan globalisasi. Melalui perkumpulan sekeha dalam kaitannya dengan tradisi tampak semakin menurun. Maka yang menjadi tugas dari Dinas Kebudayaan untuk kelangsungan tradisi yang ada. Perlu adanya pasraman yang sudah dikelola di masing-masing desa untuk menyampaikan tradisi mereka terkait dengen kesenian sakral melalui kegiatan pasraman.
Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan potensi di masing-masing desa seperti menganyam atau melukis. Dan di Desa Adat Sidatapa seperti kerajinan bambu.
Desa adat Buleleng ada aturan yang tidak tertulis disebut dresta, tergantung sejarah Desa itu sendiri. Dari setiap desa sesuai dengan sejarahnya memiliki perbedaan-perbedaan. Dengan adanya Majelis Desa secara struktural maka terbentukny lembaga di bawah sampai sekarang masalah desa diselesaikan di Kertha Desa seperti masalah budaya dalam sekeha shanti, sekeha tari yang bernaung di bawah adat. Perkembangan berikutnya karena globalisasi dan wilayah memerlukan pembinaan dari pemerintah Kabupaten atau Kecamatan.
Ada kolaborasi yang dibuat berdasarkan inovasi dan kreatifitas tanpa mengurangi makna yang ada. Saat ini cukup berat terhadap masalah pembinaan generasi muda narkoba yang memerlukan dana yang besar. Ini berdasarkan pararem atau rapat desa sebagai masalah yang hendaknya diselesaikan.
Klasifikasi tentang pemahaman desa. Desa pakraman sudah digantindengan desa adat, sebelum belanda namanya pakraman. Desa Bali Aga adalah desa asli yang mendapat pengaruh won gaga atau orang pegunungan dari pengaruh Rsi Markandya yang jika seluruh Bali memakai ini dan dengan pemikiran Rsi Markandya maka muncul istilah Bali Aga. Perkembangan lebih lanjut diposisikan antara Bali Aga dengan Bali Daratan sebagai pengaruh Majapahit yang diklasifikasikan oleh Belanda.
Desa bali kuna sebagai keberlanjutan dari Bali Aga yang diperkuat dengan ajaran Mpu Kuturan yang kemudian berkaitan dengan Tri Murti. Memang ada klasifikasi Bali Aga dan Dataran namun seperti di Sidatapa tidak ditemukan padmasana atau rong dua purusa dan pradana. Namun hulunya selalu dua yaitu Wisnu, Siwa dan Budha yang datang lebih awal dari Hindu di Bali.
Kategori Belanda yang ditemukan di Gianyar lebih muda jika dilihat dinamika yang terjadi di Buleleng. Seperti Desa Adat di Buleleng diklasifikasikan sebagai Desa multikultur. Bagaimana dengan keberadaan Desa Muslim, Desa Kristen yang hendaknya dikategorikan sebagai Desa multikultur, maka tidak bisa dikategorikan sebagai Desa Bali Aga.
Berbicara soal subak, konsep subak berbeda dengan Desa Adat yang bersumber pada sumber air. Banyak hal mengenai Desa Adat tetapi tetap tidak boleh lepas dari yang namanya sejarah.